BAB 47

1.5K 135 124
                                    

Lima hari telah berlalu. Gibran masih enggan berbicara dengan mamanya. Tepat dua hari yang lalu, Gibran pun sempat pergi ke rumah Arinta, berniat untuk meminta maaf. Namun, dirinya justru tidak diperbolehkan untuk masuk.

Gibran tahu, kesalahan yang diperbuat mamanya memang sulit untuk mendapatkan maaf, tetapi hanya maaf yang bisa ia lakukan.

Berhubung hari ini weekend, Gibran berniat untuk ke kafenya. Sudah lumayan lama ia tidak melihat perkembangan kafe.

Begitu sampai di tempat tujuan, Gibran memutuskan untuk putar balik. Sebab ia melihat mamanya yang tersenyum ke arahnya. Ingin rasanya Gibran mendekat, walau kenyataan egonya lebih menguasai dirinya.

Sementara di sisi lain, Sherin mulai belajar untuk berjalan untuk yang ketiga kalinya. Ditemani dengan sang Bunda dan seorang dokter.

"Pelan-pelan saja Sherin, jangan terlalu terburu-buru," ujar Rina sambil memapah Sherin.

"Aku udah nggak sabar pengen jalan lagi, Bun."

"Iya, bunda tahu itu, tapi ya kamu juga tetap hati-hati."

Sherin merasa senang, karena kini ia sudah bisa berdiri sendiri. Walau dirinya belum bisa melangkahkan kakinya, tanpa bantuan orang lain. Setidaknya tak lama lagi ia akan kembali berjalan seperti dulu.

"Untuk hari ini sepertinya cukup dulu, kita lanjut lusa," ucap dokter bernama Hera.

"Makasih, ya, Dokter Hera. Udah banyak banget bantu aku." Sherin tersenyum ke arah Hera.

"Sama-sama, kamu juga jangan patah semangat. Saya yakin nggak lama lagi kamu bisa berjalan normal seperti biasa."

"Aamiin, Dok. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih," ungkap Rina.

"Kalau begitu saya pamit dulu, nanti lusa saya akan ke sini lagi sekitar jam sembilan pagi."

Setelah kepergian Hera, Rina membantu putrinya untuk duduk di sofa dan kemudian mereka berdua berbincang-bincang.

"Nanti kalau kamu sudah sembuh total dan bisa jalan lagi, kamu bisa sekolah lagi di SMA Dharmawangsa. Kamu seneng kan pasti?"

"Em, tapi Bun. Aku boleh minta satu hal nggak?" tanya Sherin bernada serius.

"Ngomong saja langsung, kamu mau minta apa?"

"Aku mau pindah sekolah."

Rina yang mendengarnya mengerutkan dahinya. Tiba-tiba saja putrinya meminta untuk pindah sekolah. Padahal selama di rumah, dia selalu bilang jika rindu dengan teman-temannya.

"Kenapa harus pindah? Bukannya selama ini kamu bilang sama bunda, kalau rindu sama teman-teman kamu di sekolah." 

"Aku mohon, Bun. Pindah di mana aja terserah sama bunda."

"Iya, tapi kenapa?"

"Aku nggak bisa jelasin, Bun."

Sebenarnya masalah Sherin yang ingin pindah sekolah merupakan bagian dari tujuannya, yakni menjauh dari Gibran. Ya, walau pun selama ini ia masih sering bertemu. Namun, jika nantinya ia sudah bisa bersekolah lagi dan itu di SMA Dharmawangsa. Sama saja membuatnya semakin sulit melupakan Gibran.

"Kamu kena bully? Kalau iya kenapa nggak pernah bilang sama bunda atau ayah."

Sherin menggelengkan kepalanya dengan segera. "Nggak sama sekali kok, Bun. Malahan teman-teman aku pada baik, cuma ya itu aku pengen pindah."

"Ya sudah kalau itu memang jadi keputusan kamu, nanti bunda bilang ke ayah kamu."

"Makasih bunda. Aku sayang banget sama bunda, sama ayah juga."

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang