BAB 27

1.3K 123 132
                                    

Angin malam kian terasa, menghantam tubuh Arinta yang terbalut kaos tipis berwarna hitam. Ia berniat untuk menjenguk Sherin, tetapi langkahnya semakin melambat kala jarak yang dituju semakin dekat. Ia masih terus kepikiran dengan perkataan Rizal pagi tadi.

"Ja-jadi sebenernya gue sama Kak Gibran itu ... kita itu a-ada hubungan kerja," ungkap Arinta yang terlihat sangat gugup.

"Maksud lo?" Rizal menaikkan sebelah alisnya.

"Gue kerja nyanyi di kafenya Kak Gibran."

"Lo juga suka sama dia?"

"Ng-nggak! Jangan ngarang deh lo, gue kerja di sana karena emang pure gue butuh kerjaan itu. Lo tahu kan kalau gue dari keluarga nggak mampu."

"Oke, gue pegang omongan lo. Gue harap lo nggak nikung temen lo sendiri. Ya walaupun Kak Gibran sama Sherin nggak ada hubungan, tapi seenggaknya lo sadar diri! Kalau orang yang selama ini ngebantu lo, bahkan udah nolongin lo dari tabrakan itu dan sekarang koma, berharap sama seseorang yang mungkin bisa aja lo juga berharap sama kayak dia. Jadi, intinya gue juga nggak mau persahabatan lo berdua rusak, hanya karena Kak Gibran," jelas Rizal panjang lebar sambil menepuk pundak Arinta.

"Oh, ya, sorry gue nggak bisa anter lo pulang. Gue ada urusan," lanjut Rizal lalu melenggang pergi meninggalkan Arinta yang terdiam memandangi jalanan.

Perkataan Rizal berhasil membuat Arinta semakin tersudutkan. Di sisi lain hal itu memang yang seharusnya ia lakukan. Mungkin setelah Sherin sadar, ia akan menceritakan semua rahasianya.

Terlalu melamunkan kejadian tadi membuat Arinta tak menyadari jika ia telah berada di depan ruangan Sherin. Tangannya sudah mulai memegang gagang pintu dan tinggal membukanya. Namun, seseorang dari belakang lebih dulu menariknya.

"Kak Gibran?" Arinta kaget melihat Gibran di belakangnya.

"Bisa ikut dengan saya sekarang?"

"Eh, tapi, Kak gue mau jenguk Sherin."

"Sebentar saja tidak lama."

Gibran membawa Arinta menuju taman rumah sakit. Sementara waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam, semilir angin malam mulai terasa.

Melihat pakaian yang dikenakan Arinta hanya bermodal kaos tipis, Gibran melepas jaketnya lalu memberikannya pada Arinta.

"Pakai ini," ujar Gibran sambil menyerahkan jaket yang semula melekat di tubuhnya.

"Eh, nggak perlu, Kak." Arinta menolaknya.

Dengan terpaksa Gibran memakaikan jaketnya di tubuh Arinta. Tiba-tiba seseorang mendekat dan menyenggol Arinta sampai jatuh tersungkur.

"Bilangnya mau jenguk Sherin, tahunya berduaan di sini," sindir Rizal yang baru saja datang.

Pandangan Rizal tertuju pada Gibran, yang saat ini membantu Arinta berdiri. Andai saja ini sedang tidak di area rumah sakit, sudah bisa dipastikan pukulan akan mendarat di wajah Gibran. Entah kenapa, setelah kejadian tabrakan dan berujung Sherin koma. Setiap kali Rizal melihat Gibran, seperti melihat musuhnya.

"Jaga sikap Anda!" gertak Gibran.

"Lo yang jaga sikap! Ngapain lo berduaan sama dia di sini?"

"Saya ada urusan penting sama dia."

"Oh! Urusan penting? Oke." Rizal melirik ke arah Arinta sebelum ia meninggalkan tempat.

Lirikan itu, berhasil membuat Arinta teringat kembali dengan perkataan Rizal. Alhasil, ia mengembalikan jaket berwarna merah marun pada Gibran dan langsung pergi begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang