BAB 6

1.6K 216 342
                                    

Saat ini, di sebuah balkon kamar. Duduk seorang cowok dengan beberapa buku dihadapannya dan satu buku yang tengah dibaca. Buku itu bukan novel ataupun komik. Melainkan, itu beberapa buku fisika, kimia, dan biologi yang ia beli sekitar dua Minggu lalu. Namun, belum sempat ia baca.

Ketenangan dari anginlah, yang membuat ia betah berlama-lama di tempat ini. Menurutnya, angin itu pengobat kerinduan. Di mana saat ini ia tengah merindukan sosok papa yang telah meninggalkannya, ditambah besok merupakan hari ayah nasional. Bagi semua orang yang masih memiliki papa, pasti itu akan sangat menyenangkan, bisa memeluk bergurau dan lainya. Sedangkan, dirinya hanya bisa mendoakan dan berkunjung ke makamnya.

Oleh karena itu, beruntung bagi kalian yang masih memiliki orang tua lengkap. Sayangi mereka, jangan pernah berbuat sesuatu yang membuat mereka marah. Karena, suatu saat pasti kalian akan merasakan betapa sedih dan kecewa ketika salah satu dari mereka telah tiada. Menyesal, apabila kita banyak berdoa kepada mereka. Penyesalan yang sesungguhnya ketika kita belum bisa membahagiakan dan sering membuat mereka marah.

Tanpa disadari, air matanya menetes.  Sekelebat kenangan bersama papanya muncul begitu saja. Papanya, meninggal ketika ia kelas satu SMP. Banyak sekali kenangan yang sulit untuk dilupakan. Apalagi, ia putra tunggal, tetapi ketika ia melihat Bella. Sepertinya, hidup dia lebih menyedihkan daripadanya. Masih kecil sudah tidak mempunyai orang tua, bahkan dia tidak pernah melihat ayahnya. Karena, ibunya hanya mengatakan kalau ayahnya itu sudah meninggal, sebelum dia lahir dan tidak ada yang tahu makam ayahnya itu.

Tiba-tiba suara ketukan pintu kamar terdengar, membuat ia bangkit dari duduknya dan meninggalkan aktivitasnya. Ternyata itu adalah Bella, baru saja dibicarakan sudah muncul saja anaknya.

"Kak Gibran, Bella ganggu nggak?" Bukannya menjawab, Gibran justru mengendong Bella lalu meletakkannya di atas tempat tidurnya.

"Bella ada apa cari kakak? Ini sudah malam lho. Bella kenapa belum tidur?" tanya Gibran pada anak kecil di depannya.

"Bella nggak bisa tidur, Kak. Tadi, kata teman aku Si Rian, dia bilang besok itu hari ayah. Kak Gibran tahu dimana ayah Bella bekerja? Kenapa Bella nggak pernah lihat? Emang ayah nggak pernah pulang ya?"

Gibran menatap sendu Bella. Sebab dia belum mengetahui tentang kepergian ayahnya dan soal siapa itu Rian, dia adalah anak tetangga sebelah yang baru saja menetap sekitar dua Minggu yang lalu. Usia Bella kini sudah menginjak 6 tahun, ia rasa ini hari yang tepat untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Bella, dia tidak mau terus-terusan membohongi adik angkatnya itu.

"Sini ikut Kak Gibran. Mau lihat ayah Bella kan?" Gibran menuntun Bella menuju balkon kamarnya. Sedangkan, Bella sangat antusias dengan senyum yang merekah diwajahnya.

Berat rasanya bagi Gibran untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun, bagaimana lagi? Bella berhak tahu yang sebenarnya. Terkadang walau itu kenyataan pahit sekalipun, seseorang berhak mengetahuinya. Daripada, terus-menerus berbohong, itu akan lebih lagi menyakitkan.

"Bella lihat dua bintang yang terang itu?" tunjuk Gibran pada dua bintang yang terang diantara yang lain.

"Lihat, Kak. Terus di mana ayah Bella?" tanya Bella sambil celingukan mencari keberadaan ayahnya.

"Dua bintang itu, ibu dan ayah Bella. Mereka berdua sudah bersatu di atas sana."

"Maksudnya, Kak?"

"Ayah Bella sudah pergi untuk selama-lamanya bersama dengan ibunya Bella."

"Maksud Kak Gibran, ayah Bella udah meninggal?"

Dengan berat hati Gibran menganggukkan kepalanya, ia dapat melihat dengan jelas, perubahan raut wajah Bella, yang semula ceria berubah menjadi sendu. Bahkan, air mata itu menetes sudah membasahi kedua pipi gembulnya. Gibran lantas memeluk erat tubuh kecil Bella. Di mana usianya yang kini menginjak 6 tahun itu.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang