Reyhan melenggang pergi begitu saja. Sementara Gibran dicegah oleh Deni, bagaimana bisa emosinya memuncak tiba-tiba. Padahal ia jarang sekali terlihat marah di depan orang banyak.
"Gib, lo kenapa pukul dia? Maksud gue tumben gitu," ujar Deni.
"Saya tidak bisa mengontrolnya tadi. Sudahlah lebih baik sekarang kita ke rumahnya Reza. Anda bisa ikut dengan saya atau tidak?"
"Yoi, gas lah!"
Mereka lantas melenggang pergi menuju rumahnya Reza dengan motor masing-masing, tetapi sebelumnya Gibran membayar pesanan milih kakak kelasnya itu.
Namun, perjalanan mereka terhenti karena ponsel di saku Gibran berdering. Alhasil ia menepikan motornya dan mengangkat telepon. Ternyata panggilan itu dari ayahnya Sherin.
"Gib, siapa yang nelepon lo tadi?" tanya Deni saat Gibran sudah memasukkan kembali ponselnya.
"Om Alex telepon saya, mengabarkan kalau Sherin telah sadar dari komanya."
"Alhamdulillah. Jadi, sekarang lo mau ke rumah sakit atau ke rumah Reza? Gue saranin mending lo ke rumah sakit, biar gue yang ke rumahnya Reza. Gimana?" usul Deni yang mendapat anggukan dari lawan bicaranya.
Gibran dan Deni berpisah, sebab arah rumah sakit tempat Sherin berada dengan rumahnya Reza berlawanan.
Tanpa sadar Gibran mengembangkan senyumnya dibalik helm yang ia pakai. Hingga tak sadar ban depan motornya menginjak paku, hal itu membuat bannya bocor. Beruntung tak jauh dari tempat ia berdiri, ada sebuah tempat tambal ban. Lima belas menit kemudian, ia sampai di tempat yang ia maksudkan tadi.
Namun, Gibran mendapat urutan kelima, yang artinya ia harus menunggu empat motor lagi. Di tambah orang yang menambal ban hanya seorang. Alhasil ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit tanpa motornya. Berhubung kebetulan ada angkutan yang lewat, ia tanpa ragu langsung menghentikannya dan masuk ke dalamnya. Namun, pandangannya tertuju pada Arinta yang duduk di pojokan.
"Hai?" sapa Gibran lalu duduk di sebelah Arinta yang masih kosong.
"Kak Gibran? Kok bisa ada di sini?" tanya Arinta berwajah kaget.
"Emangnya saya tidak boleh naik angkutan ini?"
"Boleh, gue cuma heran aja, Kak. Kok nggak pake motornya atau taksi gitu."
"Ban depan motor saya bocor, antrian panjang dan saya sedang buru-buru."
"Buru-buru ke mana, Kak?"
"Ke rumah sakit."
Mendengar jawaban dari Gibran, Arinta bisa menebak jika Gibran ingin menemui Sherin yang sudah tersadar dari komanya.
"Anda sendiri?"
"Kita satu tujuan, Kak. Mau jenguk Sherin 'kan?"
Gibran mengangguk sekilas.
Saat semua penumpang tak lagi mengeluarkan suara, tiba-tiba sebuah kubangan membuat mereka berteriak kaget karena merasa tubuhnya yang anjlok. Dengan spontan Arinta memeluk Gibran, tetapi begitu tersadar ia merasa malu atas apa yang baru saja terjadi.
"Ma–maaf, Kak. Gue nggak sengaja tadi," ujar Arinta lembut. Namun, hanya ditanggapi oleh senyuman.
Tak berselang lama, angkutan umum itu berhenti. Gibran bergegas turun, ia kemudian menyerahkan beberapa lembar uang pada sopir.
"Pak, ini uangnya sekalian punya teman saya, Pak," jelas Gibran sambil menunjuk Arinta.
Terlihat tak ada penolakan dari Arinta, percuma saja jika ia menolak tentu Gibran akan tetap membayarkan ongkos angkutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...