Keesokan harinya, Sherin masih terbaring dengan status komanya. Dari malam pun kedua orang tuanya setia menemaninya di samping brangkar. Bahkan semalam tepat pukul 12 malam, Dika—kakak Sherin tiba-tiba menelepon karena mempunyai firasat buruk terhadap adiknya, dan benar saja hal itu terjadi. Mungkin karena ikatan batin seorang kakak pada adiknya yang sangat kuat.
Rencananya juga, hari ini Dika akan pulang dan memutuskan untuk mengambil cuti kuliah selama beberapa hari ke depan.
Pintu kamar rawat Sherin terbuka dan menampilkan Gibran di sana. Gibran datang bermaksud untuk mengetahui kabar Sherin. Sebab bagaimanapun juga, Sherin yang telah menyelamatkan dirinya dari tabrakan truk semalam.
Sementara, sejak semalam Arinta tak menampakkan batang hidungnya. Entah apa yang terjadi padanya, padahal jelas-jelas ia sudah diselamatkan oleh Sherin dari tabrakan itu.
SMA Dharmawangsa juga diliburkan selama dua hari, sebab kerusakan akibat tabrakan semalam cukup parah. Lagi pula semua perlengkapan dan peralatan acara HUT belum juga dibereskan.
Berita duka juga datang dari sopir truk semalam yang dikabarkan meninggal dunia pagi tadi sekitar pukul tiga. Polisi juga sudah mengetahui penyebab truk tersebut oleng, karena di sabotase oleh seseorang dan orang itu masih tahap pencarian.
"Pagi, Om, Tante," sapa Gibran. Namun, hanya mendapatkan senyum getir dari kedua orang tua Sherin.
Suasana mendadak kembali hening, sebab Gibran hanya bisa terdiam memandangi wajah pucat Sherin.
"Bunda, ini sudah pagi sebaiknya bunda sarapan dulu. Ayo kita sarapan ke kantin rumah sakit," ajak Alex pada Rina.
Rina menggeleng lemah. "Ayah sarapan duluan saja, bunda nggak nafsu makan."
"Jangan gitu dong, Bun. Dari malam juga bunda belum makan apa-apa."
Gibran tiba-tiba membuka suaranya. "Maaf, Tante. Bukan maksud saya ikut campur, tetapi memang sebaiknya Tante sama Om sarapan dahulu. Biar saya di sini yang akan menjaga Sherin," ujarnya ramah.
Akhirnya setelah dipaksa, Alex berhasil membujuk Rina untuk mengisi perutnya. Alhasil kini di ruangan hanya tersisa Gibran dan Sherin yang terbaring lemah.
Gibran sedikit mendorong kursi yang ia duduki mendekat ke arah Sherin. Ia lantas mengelus rambut Sherin pelan dan memandangi wajahnya yang sangat terlihat berbeda seperti biasanya. Bahkan ia sampai menggenggam erat tangan lembut yang masih terpasang infus itu.
"Maafkan saya, karena saya sering berbuat salah kepada Anda, tetapi jujur saja. Saya merindukan Anda, cepatlah sadar. Banyak orang-orang yang menunggu Anda bangun, termasuk saya."
Cup!
Gibran mengecup tangan Sherin begitu saja, tetapi menit setelahnya ia sadar perbuatannya telah melampaui batasannya. Alhasil ia menjauhkan kembali kursinya.
Seseorang sejak dari tadi mengintip dari balik pintu. Namun, Gibran sama sekali tak menyadari hal itu. Orang itu berbalik badan—niatnya ingin menjenguk Sherin, tetapi ternyata sudah ada orang lain di dalamnya.
Rizal lah orang itu. Ia merasa sakit melihat seseorang yang selama ini ia sayang terbaring lemah. Rasa cemburu pun serasa berterbangan di sekelilingnya. Saat ia melihat Gibran mencium tangan Sherin saja hatinya ikut merasakan sakit. Apalagi jika suatu saat Gibran dan Sherin bersatu. Entah bagaimana hatinya nanti.
-----
Di lain tempat, seorang wanita terbaring di atas tempat tidurnya dengan ditemani putrinya di sampingnya.
"Rinta, kamu nggak mau jenguk Sherin?" tanya wanita paruh baya itu yang tak lain adalah Ningsih—ibu Arinta.
Rinta pun menjawab. "Bukan nggak mau, Bu, tapi Rinta takut. Bagaimana pun juga Sherin celaka karena nolongin Rinta semalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...