BAB 4

1.9K 246 330
                                    

Alhasil mereka berdua keluar dari kelas, sambil bergandengan tangan. Sesekali mereka bercanda tawa, hal itu sontak menjadikan mereka sebagai pusat perhatian, hingga akhirnya seseorang menepuk pundak Sherin dengan sangat kencang.

"Kak Nadia!" pekik Sherin begitu mengetahui siapa yang menepuk pundaknya.

Nadia Elsa Safira, dia adalah kakak sepupu Sherin, anak dari kakak mamanya. Anehnya, mengapa dia bisa ada disini? Dan memakai seragam yang sama dengannya.

Sebelum Nadia berkata, dia memeluk Sherin dengan erat. Layaknya saudara kandung yang terpisah cukup lama. "Sher, gue kan udah pernah bahkan sering bilang sama lo. Panggil gue nama aja, nggak usah pake 'Kak' segala, berasa tua."

"Kan emang lebih tua setahun dari aku. Ngomong-ngomong kenapa bisa ada disini?"

"Daripada gue cerita sambil berdiri gini, mending di taman aja," ajaknya.

Sherin melirik sebentar ke arah Arinta, meminta persetujuannya lewat gerak-gerik matanya, Arinta mengangguk lantas mereka bertiga berjalan beriringan menuju taman sekolah.

Di sisi lain ...

Gibran berjalan dengan kedua sahabatnya menuju kantin. Kedua sahabatnya itu tak lain adalah Reza dan Deni. Mereka bersahabat semenjak bangku kelas sepuluh. Namun, mereka berbeda kelas dengannya. Reza dan Deni satu kelas di kelas XI IPA 4. Selain itu, ketiganya merupakan most wanted Dharmawangsa, karena aura ketampanannya yang mampu mengikat kaum hawa.

Pujian yang terdengar di telinga mereka, itu sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka dan tidak menanggapinya. Kecuali Deni, dia si tukang tebar pesona, sekali melirik satu cewek, besoknya sudah dijadikan kekasih, yah walaupun hanya bertahan paling lama dua Minggu. Hal itu membuat dia mendapatkan gelar 'playboy Dharmawangsa'.

"Halo cewek-cewek cantik, gimana pendapat kalian tentang pesona gue hari ini?" Gibran dan Reza sudah duduk di tempat biasa, meninggalkan Deni yang tengah berada di tengah-tengah sekumpulan siswi, seperti kebiasaannya.

"Gib, menurut lo cewek baru di kelas kita, gimana? Apa itu masuk kriteria cewek lo?" tanya Reza setelah menyeruput es teh di depannya.

"Lebih baik kita makan, daripada membahas hal yang tidak penting," jawabnya.

"Susah ngomong sama orang kaya lo,"

"Kalau susah lebih baik diam!"

"Lagian, lo apa nggak bosen gitu ngomongnya formal mulu. Gue denger aja males, tapi herannya gue mau aja temenan sama lo."

"Hmm." Gibran hanya berdeham menanggapi perkataan yang keluar dari mulut Reza. Kemudian dia melanjutkan aksi makannya.

Usai menghabiskan makanannya, Gibran lantas bangkit dari duduknya meninggalkan kedua sahabatnya. Kakinya yang jenjang, membuat langkahnya begitu cepat, sampai sekarang dirinya sudah berada di sebuah taman setelah sebelumnya sempat mengambil buku dari perpustakaan.

Inilah salah satu kebiasaanya, berada di taman sekolah, membaca buku-buku tebal dengan earphone yang terpasang di salah satu telinganya. Menurutnya suasana seperti ini lebih damai daripada kantin. Sebab, dirinya tidak pernah berlama-lama di kantin selain untuk mengisi perutnya.

Tiba-tiba suara teriakan seseorang menganggu ketenangannya.

"Aku seneng banget tahu nggak, akhirnya Kak Nadia satu sekolah sama aku. Kalau gini kan jadinya aku bisa nebeng," ujar Sherin diakhiri tawa singkat, setelah sebelumnya dia berteriak dengan sangat keras.

"Harus banget lo teriak kaya tadi, hah?"

"Habisnya aku itu seneng pake banget," ungkap Sherin.

Saat sedang asik berbicara, tiba-tiba seseorang menghampiri mereka dan menarik pergelangan tangan Sherin. Ketika Nadia hendak mengikutinya, Arinta yang sedari tadi diam mencegahnya.

"Nggak usah dikejar, Kak. Itu namanya Kak Gibran, dia cowok yang disukai Sherin."

"Oh jadi itu yang namanya Gibran, kek pernah lihat. Oh iya, dia satu kelas sama gue, pantesan kek baru ketemu tahu-tahu emang sekelas."

"Iya, Kak."

Gibran membawa Sherin menjauh dari Arinta dan Nadia, setelah di rasa tepat dia melepaskan genggamannya.

"Untuk apa Anda berteriak seperti tadi? Anda sadar tidak? Hal itu telah menganggu kenyamanan saya dan mungkin yang lainnya juga terganggu," ujar Gibran dengan nada serius.

"Yang lain nggak ke ganggu tuh, Kak Gibran aja yang terlalu serius orangnya. Makanya mumpung masih pelajar, kita harus menikmatinya nggak kayak kakak, apa-apa dibawa serius."

"Ini hidup saya, kenapa sepertinya anda yang repot?"

"Ah Kak Gibran nggak asik, berasa kek aku bicara sama bos aja. Santai aja kali, nggak usah kaku-kaku gitu ngomongnya. Padahal ganteng lho. Aku aja mau jadi pacar Kak Gibran, ups-" Sherin menutup bibirnya dengan kedua tangannya, sepertinya dia sudah berbicara terlalu jauh pada cowok di hadapannya.

Sementara Gibran, dia tidak memperdulikan dan lebih memilih untuk pergi meninggalkan cewek aneh di depannya. Karena, kebetulan bel masuk telah berbunyi.

.
.

Bagaimana dengan Bab 4?

Kalau ada yang salah kata atau apapun, coba Coment dong. Biar tahu letak kesalahannya dimana.

Jangan lupa tekan tombol bintang dibawah 👇🌟

Sekian dan Terima Kasih

Sampai ketemu di BAB 5

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang