BAB 1

4.1K 411 364
                                    

"Ish, ujannya kapan reda si! Pasti bunda cemas nih di rumah."

Seorang cewek bertubuh mungil  terjebak hujan di depan sebuah toko buku. Seragamnya sedikit kotor akibat ulah salah satu pengendara motor yang lewat. Sementara, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Hari pun sudah mulai gelap. Sialnya lagi, handphonenya tiba-tiba lowbat. Jika dirinya seorang peramal cuaca, lebih baik dia membeli novel lain kali, daripada terjebak hujan seperti ini.

"Dek, belum dijemput ya? Soalnya toko ini mau saya tutup," ujar Pak Daryo– selaku pemilik toko buku itu.

"Iya, Pak. Oh ya ini beneran mau ditutup ya tokonya?"

"Iya, Dek. Nggak papa kan saya tinggal sendiri disini?" tanyanya.

"Huft. Nggak papa kok, Pak."

Lagi dan lagi hembusan kesal itu keluar dari bibir mungilnya. Sesekali dia menggosok-gosok tangannya, untuk menciptakan kehangatan, tetapi tiba-tiba dia melihat motor yang tidak asing baginya, mengarah ke tempatnya saat ini dan benar saja motor itu kini berhenti di hadapannya.

"Wah, ini Kak Gibran kan?" yang ditanya justru asik memakai mantel hujannya. Bahkan menoleh saja pun tidak.

Alhasil, Sherin memberanikan diri menepuk pundak kiri cowok itu.

"Nah, bener kan ini Kak Gibran." Matanya berbinar, ketika dugaannya tepat.

"Anda siapa? Kenapa bisa tahu nama saya?" tanya cowok itu yang tak lain adalah Aksa Gibran Pratama.

Sherin mengulurkan tangannya, "Aku Sherina Aliesa Alexandra, Kak. Panggil aja Sherin atau nggak Rinrin juga boleh. Oh ya aku ini adik kelas Kak Gibran, jadi tahu deh." Sherin tersenyum kearah Gibran.

Perbincangan singkat terjadi, walau Gibran hanya mengucap beberapa patah kata saja. Sementara, Sherin terus memohon pada kakak kelasnya sekaligus ketua OSIS di sekolahnya itu, untuk mengantarkannya pulang. Walaupun, ini pertama kalinya dirinya berhadapan dengannya.

"Saya sibuk!"

"Yah, Kak. Masa Kak Gibran tega ninggalin aku sendiri disini, mana lagi ujan terus udah gelap juga. Nanti kalau misal ada yang jahatin aku gimana?"

"Ya sudah, saya antar."

Setelah perjuangannya, Sherin akhirnya mendapatkan tumpangan untuk dia pulang ke rumah. Meskipun hujan-hujanan, tetapi baru dua menit jalan, motor itu kembali berhenti di salah satu warung makan pecel lele.

"Kak! Kok aku diturunin sini sih?"

"Sebentar!" Gibran melepas mantel hujannya, lalu menyerahkannya kepada Sherin.

"Buruan pakai!"

"Lah, Kak. Tapi kan ini—"

"Cepat!"

Dengan wajah yang tertekuk, bibir yang mengerucut, Sherin memakai mantel hujan yang sudah sedikit basah itu. Kemudian, melanjutkan perjalanan pulang. Di perjalanannya, Sherin memikirkan apa yang terjadi jika nanti, ayahnya sampai melihat kalau dirinya dibonceng dengan cowok. Karena, ini pertama kalinya dia dibonceng oleh cowok, kecuali dengan kerabat dekatnya dan sahabat masa kecilnya.

Sesampainya di rumah sederhana bercat warna coklat, Sherin segera turun dari motor sport hitam milik kakak kelasnya itu.

"Sherin, kenapa kamu baru pulang sayang?" Tanpa berniat menjawab pertanyaan bundanya, Sherin justru bertanya balik. "Ayah udah pulang belum, Bun?"

"Ayah kamu lembur sayang." Akhirnya Sherin bisa bernafas lega.

"Oh ya itu siapa? Teman kamu ya?" lanjutnya.

"Saya Gibran, Tante." Gibran mendekat kearah Rina– Bundanya Sherin, lalu mencium punggung tangannya. Sebagai rasa hormat kepada yang lebih tua.

"Ini kakak kelas aku, Bun. Oh ya, Kak. Mampir dulu di rumah aku ya, kita ngeteh dulu biar anget badannya, kan abis ujan-ujanan."

"Tidak perlu, lagian hujannya sudah reda. Saya pamit, permisi."

Sepertinya Gibran terlalu terburu-buru, hingga dia tidak sadar akan keberadaan mantel hujannya yang masih dipakai Sherin.

.
.

"Pertemuan itu tak mengenal batas waktu dan tempat. Namun, pertemuan itu akan menjadi sebuah kenangan."


Bagaimana dengan bab 1?

Kalau ada yang salah kata atau apapun, coba Coment dong. Biar tahu letak kesalahannya dimana.

Jangan lupa tekan tombol bintang dibawah 👇 🌟

Sekian dan Terima kasih.

Sampai ketemu di BAB 2

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang,
Azka.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang