BAB 8

1.4K 174 175
                                    

Malam harinya, Gibran sudah bersiap dengan kaos marun dan celana hitamnya. Cowok itu berjalan dengan tangan membawa kunci motor, masuk ke kamar Bella dan melihat adiknya itu tengah berkaca. Menyisir rambutnya lalu memasang bando pita berwarna putih.

Suatu saat keluarga dari kedua orang tuanya pasti menyesal sebab tidak ada satu pun dari mereka yang mau merawatnya, tetapi beruntung juga mereka demikian. Karena, dengan hadirnya Bella Gibran merasa lebih baik.

"Bella mau ke mana sih?" tanya Gibran pura-pura tidak tahu.

"Katanya mau ke pasar malam? Nggak jadi ya, Kak?" Bella tertunduk lesu.

"Jadi dong! Kak Gibran cuma bercanda tadi. Sudah siap?" Bella mengangguk antusias mendengar perkataan Gibran yang satu ini.

Wakt menunjukkan pukul tujuh tepat. Kedua temannya belum juga datang. Hal ini yang menyebabkan Gibran jarang berkumpul dengan teman-temannya, mereka semua tidak ada satu pun yang on time.

"Kita nggak telat kan Gib," celetuk Deni yang turun dari motor Reza dengan helm yang masih melekat.

"Kalian berdua telat empat menit!"

"Cuma empat menit doang."

"Cuma?"

"Terserah lo, Gib. Hai dedek gemes, kita berdua nggak telat kan?" Dedek gemes merupakan panggilan yang diberikan Deni untuk Bella.

Bella tersenyum singkat seraya berkata, "Nggak kok Kak Reza."

"Ini Kak Deni, bukan Kak Reza." Deni sang playboy mengerucutkan bibirnya, seolah ia marah pada Bella—merasa tidak dianggap.

"Bella kangen ya sama Kak Reza?" Reza yang sedari tadi diam pun, lantas mencubit gemas kedua pipi tembem milik Bella.

"Iya, Kak. Bella kangen sama Kak Reza, tapi Bella nggak suka deket-deket Kak Deni."

Merasa terpanggil Deni lantas melirik tajam kearah Bella. Seolah-olah tak terima atas perkataan itu. Memangnya dirinya kenapa? Sampai-sampai adik kecil menggemaskan di depannya membenci dirinya.

"Tuh, Den. Anak kecil aja nggak mau sama lo," ledek Reza.

Bella tertawa begitu melihat aksi kedua teman kakaknya, "Bella tadi cuma bercanda. Bella juga kangen sama Kak Deni."

"Tuh dengerin, Rez!"

Tak lama setelahnya, mereka berangkat menuju pasar malam. Sebenarnya, jika tidak ada Bella. Gibran tidak suka berada di tempat ramai ini. Menurutnya lebih baik berkutat dengan buku-buku tebalnya, dari pada berada di tengah-tengah kerumunan orang.

Sesampainya di sana, Gibran mendapat telepon dari Haris, memberi kabar bahwa Arinta telah menyanyi dengan baik di kafenya. Selain itu, pengunjung kafe pun bertambah kala mendengar alunan suara merdu dari adik kelasnya yang baru kenal beberapa hari terakhir ini.

"Eh, Za! Lo nggak ada niatan traktir gue gitu?" papar Deni.

"Perihal apa gue nraktir lo?"

"Lo tadi pagi pdkt tuh sama cebar anak IPA satu."

"Cebar?"

"Cewek baru yang di kelasnya Gibran. Aduh! Namanya lupa gue."

"Gue cuma nggak sengaja nabrak dia. Tumben masalah cewek lo lupa?"

"Gue belum sem—"

"Nadia."

Suara itu berhasil membuat Deni dan Reza kompak menoleh ke belakang dengan tatapan herannya.

"Wih! Lo inget Gib? Bukannya lo anti ya sama cewek-cewek di kelas lo?" tanya Deni yang hanya mendapat deheman dari Gibran.

"Den, ada yang beda nih," bisik Reza.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang