Hingga tiba-tiba seseorang datang di hadapan mereka. Orang itu menggores tangan kanan Sherin dengan pisau di tangannya.
Orang itu adalah laki-laki berambut pirang, matanya melotot tajam dengan senyum smirk-nya. Ia kemudian melempar pisau ke sembarang arah dan tertawa kencang. Tentu saja hal itu memicu kerumunan orang-orang yang kebetulan lewat.
Sementara Sherin yang merasa darah segar mulai mengalir di tangannya, meringis kesakitan. Bahkan air matanya tak lagi dapat dibendung. Padahal baru saja tadi ia mengobati luka di tangan bundanya, tetapi kenapa sekarang ia justru terluka oleh seseorang yang sama sekali ia tidak mengenalnya.
"Sa-sakit, Kak ...."
Gibran yang mendengar rintihan adik kelasnya justru kalang kabut sendiri. Beruntung ibu penjual boba tadi, membawa kotak P3K. Alhasil kini ia dengan telaten membersihkan luka di tangan Sherin lalu mengobatinya.
"Pelan-pelan, Kak," ujar Sherin sambil memukul punggung Gibran dengan tangan kirinya.
"Ini sudah pelan. Anda tahan sebentar lagi." Gibran mulai meneteskan cairan merah dan segera membalut tangan kanan Sherin dengan perban.
Tiba-tiba segerombolan orang berpakaian putih mendekat, mereka lantas menyuntikkan sesuatu yang membuat laki-laki tadi tak sadarkan diri. Mendengar penjelasan salah seorang dari mereka, ternyata laki-laki tersebut kabur dari rumah sakit jiwa.
"Nak, lebih baik pacarnya di antar pulang sekarang. Ini sudah malam," ujar Ibu—penjual boba.
"Sekali lagi terima kasih, Bu. Sudah membantu saya mengobati teman saya dengan meminjamkan ini semua," tunjuk Gibran pada kotak P3K di tangannya, lalu menyerahkan pada pemiliknya.
"Lho jadi kalian berdua cuma teman, toh?"
"Iya, Bu. Kalau begitu kita berdua pamit." Gibran tersenyum lantas menggandeng tangan Sherin menuju motornya berada.
Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, perjalanan dari tempat semula ke rumah Sherin hanya membutuhkan waktu 10 menit. Kini, Gibran dan Sherin sudah berada di depan rumah dengan tangan yang saling dikaitkan. Entah itu sadar atau tidak.
"Sherin ...."
Suara itu, membuat Sherin melepas tangan Gibran. Walau sebenarnya ia masih mau berada di posisi yang tadi.
"Eh, Ayah."
"Malam, Om." Gibran mendekat ke arah Alex lalu bersalaman dengannya.
"Kamu kenapa bisa bareng dengan Sherin?" tanya Alex.
"Saya tadi tidak sengaja bertemu dengannya, Om."
"Oh, baguslah."
"Bagus kenapa, Yah?" tanya Sherin. Saat ini ia sedang berusaha menyembunyikan tangan kanannya yang terbalut perban.
"Ya, untung kamu ketemunya sama Gibran. Coba kalau ada preman."
"Ish, Ayah, mah! Masa sampai pikir ketemu preman, emang Ayah mau Sherin diculik? Biar Kak Dika jadi anak tunggal?"
"Ya nggak lah, kamu kan Sherin kesayangan Ayah."
Alex tiba-tiba memeluk Sherin. Hal itu membuat ia meringis kesakitan, kala tangan kanannya bersentuhan dengan ayahnya.
"Sherin tangan kamu kenapa? Siapa yang buat tangan kamu gini, hah? Bilang sama ayah, sekarang!"
Kala Sherin ingin membuka suara, ia urungkan tatkala Gibran lebih mendahuluinya.
Alex meminta Gibran untuk duduk di kursi, sementara Sherin, ia memilih untuk masuk ke rumahnya. Membuat minuman tentunya, dan memanggil Bella.
Namun, saat masuk ke kamarnya. Sherin melihat Bella yang tengah tertidur pulas, sambil memeluk boneka buaya miliknya. Ia tidak tega jika harus membangunkan Bella dari tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...