BAB 48

1.6K 142 109
                                    

Kedatangan Gibran, membuat Arinta semakin kesal. Ia menyesal karena pernah menaruh hati kepada anak yang sudah membuatnya kehilangan sosok ayah. Walau tak bisa dipungkiri, rasa yang mendekam dihatinya belum sepenuhnya menghilang.

"Gue nggak peduli lagi dengan dia. Puas!" Arinta menunjuk Sherin dengan jari telunjuknya dan menatap Gibran penuh amarah.

"Rupanya Anda seperti kacang yang lupa akan kulitnya. Anda tidak sadar? Selama ini Anda memiliki teman, bahkan sahabat sebaik Sherina?"

"Oh? Lagi belain nih ceritanya? Atau jangan-jangan udah mulai suka sama tuh cewek yang nggak tahu diri?"

"Ta, kamu ngomong apa?" tandas Sherin.

"Halah! Jadi cewek suka banget ngejar-ngejar cowok, padahal udah berkali-kali ditolak? Itu kan yang namanya nggak tahu diri!" Arinta menekan tiga kata terakhir yang ia katakan.

Padahal udara di sekitar terasa dingin, tetapi Sherin merasakan sebaliknya. Lebih tepat hatinya. Ia tidak menyangka jika sahabat yang selama ini begitu dekat dengannya, berbicara hal itu kepadanya. Ya, walau pun semua yang dikatakan Arinta memanglah benar.

"Sudah, Rinta. Lebih baik sekarang kita pulang saja," ujar Ningsih menarik tangan anaknya.

"Iya, Bu. Rinta juga nggak mau berlama-lama lihat mereka berdua."

Ketika Gibran ingin mencegah kepergian Arinta. Sherin berusaha berdiri untuk menahan Gibran agar membiarkan Arinta bersama ibunya pergi.

"Anda sudah bisa berjalan?" tanya Gibran yang kaget melihat Sherin yang kini berdiri di hadapannya.

Namun, baru saja Gibran mengatakan hal itu, Sherin kembali kehilangan keseimbangannya. Ia terjatuh dalam pelukan Gibran.

Kedua mata Sherin dan Gibran saling beradu pandang, tangan mereka berdua saling bertautan. Jangan ditanya bagaimana kabar detak jantung Sherin, yang pasti sekarang ia merasa sangat deg-degan. Namun, terasa nyaman berada di posisi seperti saat ini.

Gibran yang tersadar akan posisinya saat ini, lantas mengalihkan pandangannya, sementara dirinya membantu Sherin untuk duduk.

"Maaf, saya tidak sengaja," ucap Gibran yang duduk di bangku sebelah Sherin.

"Nggak perlu minta maaf, Kak. Justru aku yang harusnya berterima kasih sama Kak Gibran, karena udah nolongin aku tadi."

"Sama-sama."

"Oh, ya, Kak. Apa Kak Gibran di sini udah dari tadi?" tanya Sherin.

"Iya."

"Apa Kak Gibran denger omongan Bu Ningsih dengan Arinta tadi?" Sebenarnya Sherin agak ragu untuk menanyakan hal itu kepada Gibran.

Semilir angin yang kian terasa, membuat Gibran melepaskan jaketnya dan memakaikannya kepada Sherin. Anehnya, Sherin sama sekali tidak menolaknya dan malah menatap Gibran lekat.

"Saya mendengar semuanya. Mulai tabrakan dan balas dendam."

Mendengar hal itu, Sherin menjadi bingung dengan apa yang akan ia katakan selanjutnya. Ternyata orang tua Gibran dan Arinta, memiliki masa lalu yang buruk dan berkaitan.

"Terus sekarang apa yang akan Kak Gibran lakukan? Sebelumnya maaf kalau aku ikut campur."

Gibran menghela napasnya. Sekarang yang ia lakukan hanya bisa berusaha menerimanya dengan lapang dada. Sebab semua kejadiannya sudah terjadi padanya dan keluarga.

Namun, Gibran sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sherin.

"Apa Kak Gibran marah sama Tante Elsa karena kejadian di masa lalu?"

"Tidak." Gibran memalingkan wajahnya.

"Jangan bohong, Kak. Aku tahu dari wajah Kak Gibran. Pasti Kak Gibran marah kan sama Tante Elsa?"

Rasanya Sherin seolah melupakan tentang dirinya yang ingin menjauh dari Gibran. Buktinya sekarang, ia menjadi semakin penasaran dengan permasalahan yang menimpa kakak kelasnya dengan sahabatnya itu.

"Aku cuma mau bilang. Mau semarah apa pun Kak Gibran sama Tante Elsa, Kak Gibran harus inget, dia itu tetap mama kakak. Orang yang udah berjuang demi membuat Kak Gibran bisa melihat dunia, bahkan sampai saat ini. Aku yakin kejadian di masa lalu itu, pasti unsur dari ketidaksengajaan. Nggak mungkin kan, Tante Elsa menabrak almarhum ayahnya Arinta dengan sengaja? Walau pun, aku juga tahu tindakan Tante Elsa waktu itu emang salah banget karena udah kabur gitu aja setelah kejadian, tapi bagaimana pun juga Kak Gibran harus bisa memaafkan Tante Elsa dan di sini bukan cuma Tante Elsa yang salah. Bu Ningsih juga salah, karena udah menaruh dendam, bahkan membalasnya dengan hal yang sangat tidak pantas."

Tanpa sadar, Sherin berbicara terlalu panjang. Ia sampai lupa dengan siapa dirinya pergi ke danau ini. Pasti sekarang kakaknya tengah mencarinya.

"Maaf, Kak kalau aku ngomong nggak jelas. Sekarang aku pergi dulu, pasti Kak Dika nyariin aku. Permisi." 

Gibran mencegah kepergian Sherin. "Biar saya antar bertemu dengan kakak Anda."

"Aku bisa sendiri, Kak," sergah Sherin.

"Walau pun saya yakin itu, tetapi saya tidak akan membiarkan Anda sendirian."

Begitu Sherin bertemu dengan kakaknya, Gibran berniat untuk segera pulang. Sebab sebentar lagi matahari akan menghilang, terganti oleh bulan dan bintang. Lagi pula, Gibran sudah tak sabar bertemu dengan mamanya dan berujar kata maaf.

Saat diperjalanan pun, pikiran Gibran tertuju pada kejadian tadi. Di mana, dirinya mendengar semua pengakuan dari ibunya Arinta, termasuk tentang aksi balas dendam kepada keluarganya.

Deru motor semakin pelan, pertanda jika Gibran sudah semakin dekat dengan rumahnya. Saat sudah sampai, ia lantas memarkirkan motornya dan masuk ke rumahnya.

Betapa terkejutnya Gibran saat melihat mamanya yang tertidur di sofa ruang tamu. Wajah mamanya yang tenang saat tertidur, membuat Gibran tidak tega jika harus membangunkannya.

Namun, perlahan Gibran mulai membangunkan mamanya dari tidurnya, dengan cara membelai rambut mamanya yang mulai tumbuh uban dan memegangi tangannya yang tampak sedikit keriput di sana.

"Gibran. Maafkan mama, Sayang."

Gibran segera memeluk Elsa erat. "Gibran sudah memaafkan mama," ujar Gibran bernada serak. Sebab ia menahan air matanya agar tidak keluar.

Sekarang, Gibran merasa dilema. Antara ia harus menceritakan tentang perlakuan Bu Ningsih yang membalaskan dendam atau memilih untuk diam. Walau akhirnya, ia memilih opsi kedua. Ia takut jika akan terjadi hal buruk pada kondisi mental mamanya, jika dirinya mengatakan yang sebenarnya. Apalagi mamanya sempat mengalami depresi.

"Mama senang sekali mendengarnya. Oh, ya, mama sudah buat keputusan sekarang."

"Keputusan apa, Mah?"

"Kalau mama bakalan nyerahin diri ke polisi atas kejadian beberapa tahun lalu dan mama minta sama kamu, jangan menolak keputusan mama ini."

.
.

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih.

Sampai ketemu di BAB 49.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang