BAB 42

1.5K 138 111
                                    

"Untuk apa Anda menemui Arinta saat ini, dengan kondisi Anda yang seperti sekarang?" tanya Gibran dengan tangan yang masih memegang tangan Sherin.

"Bukan urusan Kak Gibran juga kan?" Sherin lantas melepaskan tangan itu.

Setelahnya, Gibran keluar dari mobilnya dan mengambil kursi roda lalu membantu Sherin untuk duduk di kursi rodanya.

Tampak dari kejauhan, Arinta duduk di salah satu bangku taman dengan seragam yang sudah berganti. Memang ia tadi sempat pulang untuk mengganti seragamnya, sebab kalau tidak ia takut jika ada satuan kepolisian yang lewat dan melihat dirinya yang masih berseragam lengkap.

Ketika tak sengaja Arinta menoleh ke kanan, ia mendapati orang yang ia tunggu bersama dengan orang yang sangat ia kenal.

"Halo, Ta. Udah lama nih nunggunya, ya? Maaf ya aku terlambat," ujar Sherin.

"Nggak papa kok, Rin. Lagi pula tadi gue juga pulang dulu buat ganti baju, tapi kenapa lo ajak gue ke sini? Kalau mau ada yang di omongin kan bisa gue dateng ke rumah lo."

"Aku sekalian pengen ke sini kok, Ta. Bosen juga di rumah terus."

Pandangan Sherin kini tertuju pada Gibran. "Kak Gibran bisa tinggalin kita berdua?" tanyanya.

"Memangnya kenapa jika saya di sini? Mengganggu?"

"Iya, Kak."

"Baiklah, tetapi nanti jika sudah selesai. Segera hubungi saya dan jangan pergi ke mana pun tanpa seizin saya!"

Sherin hanya berdeham menanggapi perkataan Gibran dan setelah itu Gibran berjalan kembali ke arah mobil dan berniat menunggunya di dalam.

Barulah Sherin bisa berbicara dengan Arinta sesuai maksud tujuannya mengajak dia ke sini.

"Jadi, gimana, Ta? Kamu mau kan lakuin apa yang baru saja aku omongin?" tanya Sherin bernada serius.

Arinta yang terlihat kaget mendengar permintaan Sherin, membuatnya kini terdiam. Bagaimana tidak? Sherin tiba-tiba memintanya untuk menerima cinta dari Gibran. Sementara ia tahu sendiri pasti jauh dari dalam lubuk hati sahabatnya ini merasakan sakit.

"Nggak, ah, Rin. Lo aja, gue nggak bisa dan gue mau nyakitin perasaan lo. Apalagi sampai ngerusak persahabatan kita."

"Kamu salah, Ta. Justru kalau kamu ngelakuin ini, aku bakalan seneng. Karena aku tahu, Kak Gibran itu bahagia kalau deket sama kamu. Aku bisa lihat itu dari sorot matanya dan masalah persahabatan? Nggak mungkin lah rusak hanya karena masalah laki-laki."

Melihat Arinta yang terdiam, Sherin kembali berkata, "Jujur deh sekarang sama aku. Kamu aslinya juga cinta kan sama Kak Gibran?"

"Ayo, Ta jawab!" Sherin mengguncangkan pundak Arinta, membuat keseimbangannya hampir saja hilang, beruntung dengan segera Arinta menahannya.

kemudian Arinta menganggukkan kepalanya, mengiyakan pertanyaan Sherin yang memang benar adanya.

Ternyata seperti inilah cinta, tak selalu berbuah manis. Padahal ini baru di awal, bagaimana dengan pertengahan atau bahkan di akhir?

Walau pun kenyataannya seperti sekarang, Sherin tetap berusaha menunjukkan senyum di depan sahabatnya. Ia yakin apa yang dilakukannya adalah keputusan yang tepat—mengikhlaskan cintanya. Lagi pula ini baru awal ia mengenal cinta, masih panjang perjalanan hidupnya—jika Tuhan menghendakinya.

"Oke, bentar aku chat Kak Gibran suruh ke sini. Kamu jujur ya nanti sama dia."

"Eh, Rin jangan gitu ah. Gue nggak mau."

"Harus mau!"

Sherin mulai mengetik pesan untuk Gibran, tidak mungkin kan ia berteriak sekencang mungkin agar terdengar oleh Gibran? Bisa malu sendiri, apalagi banyak orang yang berlalu lalang di sekitar.

"Sudah selesai?" tanya Gibran yang harus aja datang.

"Belum, Kak. Sahabatku ini mau ngomong sesuatu sama Kak Gibran."

Arinta menyenggol lengan Sherin. Apakah mungkin ini waktu tepat untuk ia jujur kepada Gibran atas perasaannya?

"Anda mau berbicara apa dengan saya?" Kini Gibran beralih memandang Arinta penuh harap.

"Gue ... gu–gue itu su—"

"Arinta mau jadi pacar Kak Gibran," potong Sherin. Ia sengaja menyela perkataan Arinta yang terbata-bata itu.

Merasa tak percaya mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Sherin, membuat Arinta menundukkan kepalanya. Saat ini ia benar-benar malu, sekaligus bingung dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

"Benar begitu Arinta?" Perlahan Gibran mengangkat dagu Arinta, membuat pandangan mereka bertemu.

Tak ada respon dari lawan main, membuat Gibran membelai rambut Arinta. Namun, pandangannya beralih pada Sherin yang memalingkan wajahnya. Terlihat dia sedang berusaha menahan air matanya.

"Jadi gimana, Kak? Arinta nunggu jawaban tuh," ujar Sherin.

"Anda menangis?" Secara spontan Gibran mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Sherin.

Dengan cepat Sherin menggelengkan kepalanya. "Nggak! Siapa juga yang nangis? Orang aku tadi cuma kelilipan aja, soalnya anginnya kenceng banget. Jadi, gima—"

Perkataan Sherin terpotong kala tiba-tiba kepalanya terasa sakit. Hal itu membuatnya reflek memegangnya .

"Rin! Lo kenapa?"

"Aku nggak papa, Ta. Nggak tahu ini kenapa bisa mendadak sakit gini, tapi aku beneran nggak papa kok."

Melihat Sherin yang terus meringis kesakitan, membuat Gibran memutar balikkan kursi roda yang diduduki Sherin lalu mendorongnya menuju mobil. Sesampainya di mobil, Gibran segera menggendong Sherin dan membuatnya kini berada di dalam mobil.

Ketika Gibran hendak menjalankan mobilnya, Sherin mencegahnya.

"Kak! Kenapa kita pulang? Kan tadi belum selesai. Terus itu Arinta kenapa ditinggalin gitu aja? Harusnya dia itu pulang bareng kita, Kak."

"Jangan banyak berbicara! Saya tahu Anda sedang kesakitan. Saya juga khawatir dengan kondisi Anda, sebab Tante Rina sudah menitipkan Anda kepada saya. Jadi, sekarang ... Anda adalah tanggung jawab saya."

"Kenapa Kak Gibran perhatian sama aku? Harusnya Kak Gibran anterin Arinta dan khawatirin dia yang pulang sendirian, bukan aku, Kak!"

Kalau Gibran masih saja terus peduli dengannya, bagaimana Sherin bisa melupakannya—yang ada akan semakin terasa menyakitkan. Bukan lebay atau sejenisnya, tetapi memang ini yang ia rasakan.

"Dengar saya baik-baik, memangnya salah jika saya peduli dengan Anda?"

"Salah, Kak." Karena Kak Gibran udah terlanjur buat aku sakit, sakit banget.

"Apa perkataan saya beberapa minggu yang lalu terlalu menyakitkan? Sehingga membuat Anda bertingkah seperti saat ini?"

"Udah lah, Kak, yang lalu biarlah berlalu. Kita jalan sekarang aja. Aku berubah pikiran buat cepat-cepat sampai rumah." 

.
.

Sebenarnya Gibran maunya sama Arinta / Sherin, sih?

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih.

Sampai ketemu di BAB 43.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka


Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang