Arinta menangis menatap dua gundukan tanah di sebelah kanan dan kirinya. Ia tidak menyangka kini dirinya benar-benar sendirian, tanpa kedua orang tua di sisinya. Semalam tepatnya pukul tujuh malam, ibunya mengembuskan napas untuk yang terakhir kalinya.
"Kenapa ibu juga pergi ninggalin Rinta? Sekarang Rinta benar-benar sendirian di sini, Bu." Kedua mata Arinta terlihat sembab sebab menangis semalaman.
Saat ini tinggal tersisa Arinta, Sherin dan juga mamanya serta Gibran. Sementara pelayat yang lain sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
"Kamu yang sabar, Ta. Aku tahu ini pasti berat banget, tapi sekarang Bu Ningsih udah bahagia di atas sana. Pasti udah ketemu juga dengan ayah kamu," ujar Sherin.
Semua ini terjadi secara mendadak, padahal kemarin sore dokter mengatakan jika kondisi Ningsih sudah stabil. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain dan mengambilnya.
Semalam, ketika Arinta keluar meninggalkan rumah sakit berniat untuk mengambil barang yang diminta ibunya, tetapi begitu sampai ia dikejutkan dengan kabar diluar pikirannya kala itu.
"Semua ini sudah takdir, saya yakin Anda perempuan yang kuat," ujar Gibran sambil memberanikan diri untuk mengelus kepala Arinta yang terbalut kerudung hitam.
Hingga tanpa sadar Arinta menyandarkan kepalanya pada dada bidang seseorang di belakangnya. Menangis tanpa bersuara yang ia lakukan saat ini. Sementara Gibran yang berada di belakang Arinta pun turut merasakan kesedihan, dengan mendekap Arinta ke dalam pelukannya.
Tentu saja hal itu tak luput dari pandangan Sherin. Ia menatap kedua orang di depannya, sambil berusaha menyunggingkan senyumannya. Dari sini ia semakin yakin jika Arinta dan Gibran memang terlihat cocok.
"Bun, kita pulang sekarang aja," ujar Sherin.
"Ta, aku sama bunda pulang duluan, ya. Kamu kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan buat hubungi aku," sambung Sherin sambil menatap Arinta.
"Iya, Rin. Sekali lagi makasih, ya, lo dan Tante Rina udah sempatin waktu buat ke pemakaman ibu gue."
"Kita kan sahabat, Ta."
Arinta berdiri untuk memeluk Sherin. Ternyata setelah kejadian kemarin, Sherin masih memaafkan dirinya dan bahkan sama sekali tidak marah padanya. Ia semakin yakin jika Sherin adalah orang yang sering ada untuknya, kala senang maupun sebaliknya.
"Hati-hati, Rin!" pekik Arinta kala Sherin sudah menjauh dari pandangannya.
Pandangan Arinta kini tertuju pada Gibran yang masih setia menemaninya.
"Kak Gibran sendiri kenapa masih di sini?" tanya Arinta.
"Saya di sini karena Anda masih di sini," jawab Gibran.
"Seharusnya Kak Gibran di rumah sakit, temani Tante Elsa."
"Alhamdulillah, mama saya keadaannya jauh lebih membaik. Oh, ya sudah siang dan panas, lebih baik sekarang kita pulang."
"Kita? Kak Gibran kalau mau pulang, pulang aja sendiri. Gue masih mau di sini."
Tanpa persetujuan Arinta, tiba-tiba saja Gibran melakukan hal nekat dengan menggendong Arinta dan membawanya untuk sampai ke tempat di mana ia memarkirkan motornya.
"Kak! Kenapa bawa gue ke sini? Gue masih mau di sana."
"Kali ini nurut sama saya! Sejak semalam Anda belum makan bukan?" tebak Gibran.
"Gue makan atau nggak bukan urusan Kak Gibran juga kan?"
Gibran yang jengah akan sikap keras kepala Arinta, membuat otaknya berpikir keras. Bagaimana cara membujuk perempuan, untuk menuruti permintaannya. Sebab baru pertama kali Gibran berada di situasi seperti saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...