"Sebelumnya gue mau minta maaf, karena gue udah sembuyiin ini semua dari lo, Rin," ujar Arinta lalu menarik napasnya.
"Iya, Ta. Nggak papa bilang aja." Sherin mengubah posisinya yang semula terbaring, kini menyender pada punggung brangkar. Tentu saja hal itu dibantu oleh Arinta.
"Sebenernya gue kerja nyanyi di kafenya Kak Gibran, Rin. Gue terima itu karena emang lo tahu kan keadaan ekonomi keluarga gue yang seperti apa, berbanding terbalik dengan keluarga lo."
Hal itu berhasil membuat Sherin tercengang, ternyata selama ini dugaannya salah besar. Ia mengira mereka ada something, tetapi ternyata sahabatnya itu bekerja paruh waktu. Kalau sudah seperti ini kenyataannya, ia yang merasa bersalah di sini. Padahal dirinya dengan Gibran pun tak memiliki hubungan—hanya sebatas kakel dan adkel saja.
Namun, di sisi lain ingin rasanya Sherin bertanya kembali mengenai cincin itu, tetapi rasanya ia tak perlu ikut campur sampai sejauh itu.
"Kamu kerja kenapa nggak kasih tahu aku, Ta. Kamu anggap aku sahabat 'kan?"
"Gue ... gue belum nemu waktu yang pas, Rin. Soal sahabat, lo nggak perlu tanya hal itu, Rin. Gue seneng banget bisa kenal sama lo, lo itu baik, ramah sekalipun itu sama gue. Orang yang nggak sebaya sama lo." Arinta mengembuskan napas gusarnya.
"Ta, nggak boleh ngomong gitu, ah! Kita ini kan sama-sama manusia, makhluk ciptaan Tuhan dari tanah kan? Jadi, jangan pernah ngomong nggak sebaya. Aku nggak suka! Lagi pula aku seneng punya sahabat kayak kamu, karena dulu aku sering banget dikhianati sama sahabat sendiri. Mereka sahabatan sama aku, hanya karena statusku."
Tanpa ada yang tahu, Gibran tersenyum mendengar perkataan Sherin. Ia tidak menyangka ternyata adik kelasnya itu mempunyai sikap sebaik itu.
"Makasih, Rin."
Pandangan Sherin beralih ke Gibran. "Kak Gibran juga! Kenapa nggak kasih tahu aku, kalau sahabat aku kerja di tempat kakak. Emang kenapa kalau aku tahu, Kak? Nggak boleh gitu, ya? Terus-terus ... argh!" Sherin memegangi kepalanya yang berdenyut kencang, rasanya benar-benar sakit.
"Rin! Lo kenapa? Gue panggil dokter bentar."
Sherin mencegah Arinta yang baru saja bangkit dari duduknya. "Aku nggak papa, Ta. Sudah mendingan kok ini."
Sherin berbohong, sebenarnya kepalanya masih terasa sakit. Sampai-sampai ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit itu di depan Arinta dan Gibran.
"Saya tahu Anda berbohong." Gibran menebaknya dari raut wajah yang saat ini ada di hadapannya.
"Kak Gibran jangan sok tahu deh."
"Saya dapat melihat hal itu dari pandangan saya, lebih baik saya panggil dokter sekarang."
Saat Gibran hendak keluar, Sherin menahannya dengan memeluknya lengannya tiba-tiba. Hampir saja Sherin terjatuh dari brangkar, beruntung Gibran dengan sigap membantunya.
"Aku mohon, Kak. Jangan panggil dokter, aku beneran nggak papa kok."
"Jangan melakukan hal ceroboh seperti tadi! Anda masih tahap pemulihan."
"Makasih karena Kak Gibran sudah peduli sama aku. Aku seneng banget, berasa kayak mimpi tahu." Sherin membenarkan posisi duduknya, "oh, ya, sekarang aku mau istirahat dulu, yak. Bisa tinggalin aku sendiri kan di sini?"
"Cepat sembuh Sherina Aliesa Alexandra," ujar Gibran lalu keluar ruangan disusul Arinta di belakangnya.
Perkataan Gibran barusan, membuat kesenangan Sherin bertambah. Ia baru kali ini mendengar Gibran yang memanggilnya dengan nama lengkapnya. Padahal ia kira, Gibran tak mengetahui hal itu.
Namun, menit setelahnya kepalanya terasa sakit kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...