44. Akhirnya...

179 10 1
                                    

Maaf membuat kalian menunggu dalam waktu yang cukup lama. Terima kasih sudah baca sampai sejauh ini.

Selamat membaca!

***

Pagi ini suasana salah satu ruangan rumah sakit begitu berisik lantaran Thalia yang merasa kegirangan. Gadis itu akan segera pulang dari sana. Katanya sih, hidungnya sudah tidak tahan menghirup wangi obat-obatan. Seharusnya memang kemarin sore dia pulang. Tapi karena dokter yang biasa memeriksanya digantikan oleh dokter lain, membuat kepulangannya diundur setelah menunggu dokter lama kembali. Untungnya sih tidak lama.

"Ada yang ketinggalan, sayang?" tanya mama Gina. Ketika anaknya sudah sampai di ambang pintu tapi memilih untuk memberhentikan langkahnya.

Thalia menatap mamanya seraya mengerjapkan mata bingung, "Lia pulang ke rumah mana, Ma?"

"Maksudnya?"

"Iya. Sekarang Lia pulang ke rumah Mama Gina atau ke rumah Bunda?"

Mama Gina tertawa. Hampir saja ia lupa memberitahu. "Kamu pulang ke rumah Mama dulu, sampai Bunda pulang. Nggak apa-apa, 'kan?"

Thalia hanya menganggukkan kepalanya. Untuk sekarang ini ia bisa menghabiskan waktu dengan banyak kegiatan bersama mama Gina, di saat sang Bunda sedang sibuk oleh pekerjaannya. Tidak seperti dulu, ia hanya akan bergelung seharian di kasur, sampai Dino atau Alif mengajaknya keluar.

"Memangnya kapan Bunda pulang, Ma?" tanya Thalia.

Ia sudah tidak ragu lagi untuk menanyakan terkait kondisi sang bunda pada mama Gina. Ia sendiri sudah melihat, bagaimana kondisi hubungan antara kedua wanita itu. Mereka sudah seperti teman, atau bahkan kakak-beradik. Tidak ada kata cemburu. Hanya rasa peduli yang mereka limpahkan untuk kebahagiaan anak mereka.

***

Atha berdiri dengan gelisah di teras rumah tante Gina. Cowok itu terkadang melirik ke arah jalan untuk memastikan apakah mobil yang melintas adalah mobil yang membawa Thalia dari rumah sakit atau bukan. Ketika ia merasa pegal, ia akan tetap berdiri dengan punggung yang bersandar pada tiang rumah itu.

"Cewek lo belum datang juga, Bang?" tanya Darel. Ia sengaja menyusul sang kakak agar sarapan bersama di rumah tante Gina.

Sementara perkataan Darel sendiri membuat cowok itu mengernyitkan dahi, "Cewek gue? Siapa?" tanya Atha.

"Kak Thalia, lah. Siapa lagi?"

"Lo nganggap Thalia cewek gue?"

"Yaelah, Bang. Gue lebih ridho kalau lo sama Kak Thalia. Bukan sama si Nenek lampir, Tasya itu."

Atha semakin mengernyitkan dahinya, "Bukannya lo suka sama Thalia? Kenapa sekarang, lo malah dukung gue sama dia?"

Darel memelototkan matanya. Telunjuknya menunjuk pada dirinya sendiri. "Gue? Suka sama Kak Thalia? Iya emang sih." Atha mendelik ke arah adiknya. Tuh, kan, Darel memang berencana merebut Thalia darinya. "Gue suka karena ya ... suka aja. Nggak ada niatan buat jadiin pacar atau orang spesial lainnya. Lagian gue rasa, banyak orang yang suka sama dia, kok."

Atha menatap adiknya dengan tidak percaya. Benarkah begitu? "Lo Darel, 'kan?" tanyanya seraya memegang kedua bahu adiknya itu dan mengguncangkannya. "Bijak amat?"

"Karena kali ini gue nggak bolos di pelajaran agama, Bang."

Atha tertawa mendengar perkataan adiknya. Lantas ia merangkul tubuh adiknya itu dengan sebelah tangan. Tatapannya menerawang jauh ke depan. "Gimana caranya gue lepas dari Tasya? Lo tau sendiri, Rel, gimana sikap Papa."

Comblang! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang