36. Yang Tak Kunjung Mereda

88 8 0
                                    

Selamat membaca!

***

Kondisi Thalia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Denyutan di kepalanya pun tidak pernah muncul lagi semenjak ia keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu. Bahkan tubuhnya sudah merasa segar lagi setelah mendapatkan pemberian cairan infus.

Thalia sempat khawatir dengan biaya rumah sakit yang harus ditanggung oleh Bundanya. Tapi ia bersyukur karena biaya tersebut ditanggung oleh Ayahnya saat menjenguk. Bahkan Bunda banyak mengobrol bersama Tante Gina. Ia rasa Bundanya sudah terbiasa dengan kehidupannya. Walaupun Thalia tau Bundanya itu masih menyimpan rasa untuk sang Ayah.

"Bunda udah telepon Alif suruh jemput kamu," ujar Bundanya. Ya, pagi ini Thalia memang sudah diperbolehkan untuk pergi ke sekolah. Dirinya tidak mau ketinggalan pelajaran. Apalagi ujian akhir semester akan segera dilaksanakan. "Kamu nggak perlu bawa sepeda lagi, ya? Atau Bunda belikan motor saja?"

Untuk apa? Thalia nyaman menggunakan sepedanya. Ia pun tidak bisa mengendarai motor atau pun mobil seperti kebanyakan teman-temannya.

"Nggak perlulah, Bun. Mending uangnya masuk tabungan aja buat buka cabang baru." Thalia lebih baik diantar-jemput oleh Alif atau Dino dari pada mesti mengendarai motor sendiri.

"Tapi Bunda khawatir sama kamu yang selalu pergi sana-sini sendirian. Jaraknya lumayan jauh juga dari rumah. Kalau naik motor 'kan bisa menghemat waktu juga. Soal motor ... atau Bunda ambil motor yang ada di toko aja, ya? Sementara buat kamu pake sampe lulus."

Thalia menggelengkan kepala kuat-kuat. Motor yang ada di toko adalah motor yang selalu digunakan Bang Wanda untuk mengantarkan pesanan. Selama ini Bundanya memang selalu berpergian dengan mengandalkan angkutan umum. Sementara Thalia mengandalkan sepedanya itu. Kalau motor yang dipakai Bang Wanda dibawa untuknya, bagaimana laki-laki itu akan mengantarkan pesanan para pelangan?

"Nggak usahlah, Bun. Bang Wanda mesti pake apa pas nganterin kue nanti? Kalo pake angkutan umum 'kan repot. Belum cari sampe dapat, ongkosnya juga double pulang-pergi."

Terlihat Bundanya yang menghela napas. Apa yang dikatakan putrinya memang benar. Semua yang akan dilakukan pastinya menambah risiko.

"Aku berangkat ya, Bun. Alif udah telepon," ujar Thalia saat melihat layar ponselnya hidup karena panggilan dari Alif yang masuk. "Assalamualaikum..." ujarnya seraya mencium punggung tangan sang Bunda.

Saat membuka pintu rumahnya, Thalia dikagetkan dengan kemunculan Alif yang berdiri sangat dekat dengannya.

"Gue baru mau ngetuk pintu," ujar cowok itu.

"Pas lo telepon gue langsung pamit sama Bunda. Bener aja lo udah nongkrong depan pintu," jawab Thalia. "Helm gue mana?"

Alif tersenyum. Ia suka dengan sikap Thalia yang mulai kembali seperti semula. Lantas ia memberikan helm itu pada gadis di hadapannya. "Nih," Thalia menerima helm tersebut dan langsung mengenakannya.

"Naik!" titah Alif.

"Iya gue tau!" ujar Thalia seraya naik ke atas motor Alif. "Yok berangkat, Bang!"

"Siap Neng!"

Lantas ke duanya tertawa bersamaan.

***

Thalia berjalan beriringan bersama Alif dan Dino. Semenjak bertemu Tasya di tempat Helen, ia belum bertemu dengan gadis itu lagi. Bahkan Tasya tidak pergi menjenguknya. Padahal sang Bunda bertanya apakah Tasya tidak akan pergi melihat kondisi Thalia?

Comblang! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang