33. Sekelumit Masalah

83 8 1
                                    

Selamat membaca!

***

Sesampainya Atha di rumah, ia merasa tidak tenang. Ada perasaan bersalah muncul dalam benaknya. Andai saja dirinya tidak mengantarkan ponsel Thalia. Mungkin kejdiannya tidak akan seperti tadi. Tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas dekat ranjangnya. Membuka room chat-nya dengan Thalia. Atha begitu khawatir dengan gadis itu. Dirinya yakin bahwa sekarang Thalia tengah memikirkan semua hal yang terjadi sore tadi.

Atha : Thal, lo gpp 'kan?

Atha : Gue minta maaf soal tadi.

Atha : Tolong jangan terlalu dipikirin apa yg Tasya bilang.

Atha : Gue rasa dia bohong.

Helaan napas lagi-lagi terdengar. Ia masih mengingat apa yang dikatakan oleh Tasya saat di rumah Thalia tadi. Menyampaikan sebuah kebohongan, euh? Dengan mengatakkan bahwa ia dan Atha akan bertunangan. Mengingat hal itu, Atha segera bangun dari posisi berbaringnya, berjalan ke ruangan kerja sang Papa. Ia harus memastikan apakah perkataan Tasya itu benar?

"Pah," panggilnya menghampiri sang Ayah yang tengah mengerjakan segala macam tugasnya. "Ada yang mau Atha omongin."

"Ngomong aja. Papa dengarkan," ujarnya seraya masih membaca segala macam berkas di atas mejanya.

Atha berdecak. Papanya selalu menganggap sepele hal yang akan dibicarakan anaknya itu.

"Kenapa Tasya bilang kalau Atha bakalan tunangan sama dia dan itu atas kesepakatan Papa?"

Papanya mengalihkan fokus pada Atha. Menyimpannya berkas yang semula dipegangnya. "Memang kenapa?"

Atha tidak habis pikir dengan jawaban Papanya itu. Kenapa katanya? Jelas itu semua sangat tidak mungkin. Ia saja tidak suka pada Tasya.

"Pa! Atha bahkan nggak suka sama Tasya. Udah ada seseorang yang Atha harapkan. Bukan dia! Lagipula Atha masih mau lanjut kuliah, Pa!" ujarnya dengan emosi. Papanya sudah menentukan pilihan tanpa memikirkan perasaan anaknya sendiri. Atha berdecih. Sudah ia duga, Papanya memang tidak sayang padanya. Giliran Daren pasti akan ia puji-puji selalu.

"Loh, kamu kan cuma tunangan. Bisa jalani hubungan sambil kuliah juga. Kalau urusan menikah nggak usah buru-buru. Kamu juga harus banyak mengenal Tasya, Atha ... Papa juga sudah mengobrolkannya dengan orang tua Tasya. Tidak bisa dibatalkan begitu saja."

Apa katanya? Mengenal Tasya untuk lebih jauh lagi? Sudah. Cukup sampai perempuan itu menunjukkan sikap aslinya, Atha sudah tau jika dia bukanlah yang terbaik untuknya. Papanya salah menilai.

"Nggak bisa, Pa! Pokoknya Atha nggak mau ada hubungan apalagi sampai terikat sama dia!"

"ATHA!" bentak Papanya.

"Gara-gara bisnis, eh?" tanya Atha dengan sinisnya. "Atha bahkan udah nurutin semua kemauan Papa. Bahkan masalah hubungan harus sesuai kemauan Papa lagi? Asal Papa tau ... aku punya pilihan sendiri!" ujar Atha seraya berjalan keluar ruangan itu dan membanting pintu ruang kerja Papanya dengan keras. Ia merasa sangat marah sekarang. Jika Tasya tau, pasti gadis itu merasa telah menang banyak. Sialan!

"ATHA, PAPA BELUM SELESAI BICARA!"

Atha si keras kepala. Ia terus berjalan dan masuk ke kamarnya.

***

Jika saja hari ini adalah hari libur, Thalia pasti akan merasa tenang agar tidak bertemu dengan Tasya yang bisa menimbulkan rasa bersalahnya kembali muncul. Tapi menunda-nunda pun tidak baik. Akhirnya mau tidak mau Thalia memang harus pergi ke sekolah. Tepat sekali, Tasya berjalan di koridor yang sama dengannya di depan sana.

Comblang! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang