Selamat membaca!
***
Sepanjang malam Thalia terus terjaga. Rasanya ia tidak mengantuk sama sekali. Padahal besok akan pergi ke sekolah. Berkali-kali ia menghela napas dan mengingat-ngingat telah mengonsumsi apa tadi sore. Tapi ia ingat tidak memakan makanan yang aneh. Apalagi meminum kopi dengan tingkat kafein tinggi.
Posisi terlentangnya diubah menjadi posisi miring ke kanan. Thalia rasa bukan karena salah makan, mungkin pikirannya yang terus mengingat perkataan Atha. Ya Tuhan ... lalu Thalia harus apa?
Ya gue mesti lupain soal perasaan itu. Lagi pula Atha udah mau berusaha buat menerima Tasya. Gue cuma perlu bersikap biasa aja. Ya ... biasa aja.
Berbagai macam monolog untuk dirinya sendiri terus Thalia lafalkan hingga matanya menutup sempurna dan tertidur. Menjemput mimpi indahnya.
***
"BUNDA, KENAPA NGGAK BANGUNIN LIA?" Thalia berteriak seraya berjalan tergesa-gesa menuruni tangga. Tangannya terus mengikat dasi hingga membentuk simpul yang sempurna, seperti biasanya.
Sementara sang Bunda hanya menggelengkan kepala. Putrinya lagi-lagi bangun terlambat. Siapa suruh gadis itu tidak memasang alarm dan selalu mengandalkan ketukan pintu kamarnya? Masih mending jika pintunya tidak dikunci. Tapi Thalia selalu mengunci pintunya—kecuali ketika gadis itu lupa—hingga sang Bunda tidak bisa menepuk pantatnya, atau menyiramnya dengan air hingga anak gadisnya benar-benar bangun.
"Lia, sarapan dulu!"
Thalia yang hendak menuju luar memutar kembali tubuhnya dan menghampiri Bundanya di dapur. "Lia nggak sempat, Bun. Lia berangkat ya, assalamualaikum..." pamitnya seraya mencium punggung tangan Bundanya.
"Loh, kamu berangkat sama Alif, 'kan?"
"NGGAK BUN," jawabnya seraya melesat ke luar rumah.
Ya, sebenarnya Alif bersedia menjemput Thalia setiap hari. Namun setelah apa yang ia ucapkan kemarin pada cowok itu, Thalia memilih untuk menyiapkan waktu untuk kembali bertatap muka dengannya lagi. Ia juga bingung, kenapa bisa berbicara seperti kemarin pada Alif? Memang bodoh. Padahal ucapannya berpotensi membuat harapan Alif semakin tinggi padanya.
Thalia mengeluarkan sepeda. Ia tidak sempat berpikir untuk menggunakan transportasi lainnya. Dengan kecepatan tinggi, ia mulai menggoes sepedanya hingga sampai ke sekolah. Tepat di depan gerbang, Thalia mulai memelankan goesannya. Namun sebuah motor lagi-lagi tidak sengaja menabraknya dari belakang. Membuat Thalia oleng dan terjerembab begitu saja. Keranjang sepeda yang baru diganti beberapa bulan yang lalu akhirnya kembali rusak—menjadi penyok. Thalia meringis, sikunya berdarah karena tergores dengan aspal kasar di gerbang. Dalam kepalanya tiba-tiba saja bayangan Atha menabraknya untuk pertama kali kembali terulang seperti kaset rusak. Atha ... apakah yang menabraknya kali ini Atha lagi?
Thalia mengangkat pandangannya. Namun sosok yang diduganya tidak ada. Ia buru-buru bangkit sendiri. Tidak ada yang menjulurkan tangan untuk memberikan bantuan padanya sekarang. Motor yang menabraknya bukanlah motor besar seperti yang digunakan Atha. Pandangannya kemudian beralih pada pos satpam. Bahkan Pak Momon tidak ada di tempatnya. Saat Thalia melihat jam di pergelangan tangannya, ini sudah pukul tujuh lewat dua menit. Tapi gerbang belum ditutup.
Susah payah Thalia membangunkan sepeda dan menuntunnya menuju parkiran. Tepat saat itu juga ia berpas-pasan dengan Pak Momon.
"Telat lagi Neng?" tanyanya. Thalia menggelengkan kepalanya. Rasanya ia ingin menangis. Bayangan Atha menabraknya dulu, dan Pak Momon yang membantunya membuat ia ingin menangis. Tatapan Pak Momon jatuh pada siku Thalia yang terus mengeluarkan darah. "Sikunya kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Comblang!
Teen FictionMenurut Thalia apa yang dialaminya saat ini lebih dari sekedar friendzone. Menyatukan sahabatnya dengan Kakak kelas yang jelas-jelas dihindarinya. Berlagak seperti Mak comblang profesional. Ini bukan Thalia sekali, Dude. Jadi, mampukah Thalia menya...