35. Undangan Makan Malam

100 8 1
                                    

AWAS! BAGIAN INI ADA MANIS-MANISNYA!

HAHA, nggak deng.

Selamat membaca!

***

Suasana hening namun tidak mencekam, itulah yang Thalia rasakan saat ini. Sebelum matanya terbuka sempurna, gadis itu sudah menebak bahwa dirinya ada di rumah sakit karena wangi obat-obatan yang begitu menyengat hidung.

Setelah berhasil menyesuaikan pandangan dengan ritme cahaya yang ada, matanya langsung tertuju pada punggung tangan yang telah terpasang infusan. Oh, bukan hanya itu, di sana ada Alif yang tertunduk menelungkupkan kepalanya. Tangan cowok itu pun menggenggam longgar tangan kiri Thalia yang tengah diinfus.

Seketika perasaan bersalah memupuk di dadanya. Alif merupakan sahabatnya yang baik. Ya ... walaupun beberapa kali kelakuannya membuat Thalia harus membenci cowok itu. Namun pada posisi sekarang, Alif rela menemani bahkan hingga ketiduran dengan posisi duduk dan kepala yang tertunduk di atas brangkar.

Sori, Lif, gue banyak menyia-nyiakan lo. Tapi gue juga nggak mau menjalani hubungan sama seseorang yang bahkan nggak gue sukai sama sekali. Gue takutnya lo malah semakin sakit hati.

Thalia mendapati Alif yang mengerjapkan mata. Tampaknya cowok itu akan segera bangun, membuatnya segera menutup mata dan berpura-pura tidur kembali.

Alif yang terbangun melihat ke arah Thalia yang masih menutup matanya dan belum sadarkan diri. Sudah lebih dari dua jam cowok itu menunggu Thalia sadar. Matanya menatap penuh sayang ke arah gadis di depannya. Jari-jari tangannya mengusap pinggiran kening Thalia yang terlihat merah karena memar.

"Ra, harusnya gue bisa cegah kelakuan Tasya," ujarnya dengan nada yang terdengar tulus.

"Sampai kapan gue mesti nunggu lo, Ra? Dari dulu sampai sekarang, gue bahkan nggak ada niatan buat suka sama cewek lain."

"Cuma lo yang tau dan bisa ngertiin keadaan gue, Ra."

Dalam kepura-puraannya Thalia merasa heran, kenapa nada bicara Alif terdengar serak dan putus asa? Apakah cowok itu tengah merasakan kesedihan yang mendalam dan menangis?

Sepertinya dugaan Thalia memang benar. Alif menangis. Dapat ia rasakan sebuah cairan hangat jatuh setetes mengenai punggung tangannya yang sedari tadi digenggam cowok itu.

Thalia tidak tahan dengan posisinya saat ini. Akhirnya ia memilih untuk berakting pulih dari ketidaksadarannya. Matanya mengerjap menyesuaikan kembali ritme cahaya karena ia merasa silau.

"Alif?" tanya Thalia dengan suara serak akibat kurang minum.

Dalam hati dirinya menggerutu karena harus berakting seperti itu.

Alif segera mengusap kasar wajahnya. Ia kemudian bangkit dan segera mendekati Thalia. "Ada yang sakit, Ra?"

Thalia menggelengkan kepalanya. Memang benar tidak ada yang sakit untuk sekarang. Hanya saja memar di kepalanya akan berdenyut nyeri saat ia terlalu memaksakan diri saat berpikir dan tertawa keras.

"Minum," pintanya pada Alif.

Haus cuuuuy, hauuuuus!

Alif segera mengangguk dan meraih segelas air putih yang telah disediakan sebelumnya. Ia selalu menonton di FTV, seseorang akan menyediakan segelas air saat menunggu seseorang yang pingsan di rumah sakit. Entah air itu untuk si penjaga atau untuk orang yang sakitnya.

Thalia meminum airnya dengan bantuan Alif. Kemudian matanya melihat ke sekeliling, "Lo nungguin gue sendirian?"

Alif menganggukkan kepala, "Tadi sih ada Dino. Dia lagi ke kantin dulu."

Comblang! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang