11. Permohonan Tasya

159 20 0
                                    


Tasya akan melakukan segala cara, agar dirinya bisa terus mengobrol dengan Atha. Bahkan tanpa di sadarinya, ia sudah menjadikan Thalia sebagai kelinci percobaannya.

Sejak awal masuk ke kelas, Tasya tak berhenti menyunggingkan senyumannya, membuat teman sekelas nya merasa keheranan. Meskipun Tasya memang termasuk anak yang selalu riang, namun senyuman kali ini berbeda jika di rasa dan di pandang.

Tasya mendudukan dirinya, kemudian ia mengubah posisi duduknya menjadi sedikit menyamping, ke arah Thalia yang sedang memainkan ponselnya.

"Ra, kok lo gitu sih, tadi?!" ucap Tasya dengan nada sedikit kesal.

"Gitu gimana?" tanpa menoleh ke arah Tasya, Thalia menjawab sekenanya.

"Kok lo main pergi aja sih, jelas-jelas tadi tuh, ya, Kak Atha belum selesai ngomong."

Thalia hanya diam. Ia tak menggubris perkataan dari Tasya.

"Ra, lo tuh sebenernya niat bantuin gue nggak sih?" Thalia tetap diam. "Kalo emang lo nggak niat, yaudah lo bilang. Dengan begitu gue bisa bedain, mana temen yang tulus, sama mana temen yang cuma manfaatin pulus gue!"

Thalia menatap ke arah Tasya, ia tak menyangka jika Tasya akan berpikir sejauh itu. Sekarang, apalagi keinginan Tasya?

"Maksud lo, apa?" tanya Thalia dengan tidak terimanya.

Oke, mungkin keluarga Tasya memang lebih berada daripada keluarga Thalia. Tetapi sungguh, Thalia berteman dengan Tasya itu murni karena hatinya, bukan karena uangnya.

"Ra, gimana gue nggak berpikiran ke situ sih. Lo aja ngebantu gue kaya yang nggak niat gitu, nggak ikhlas."

Thalia menghela napas. Satu fakta yang ia ketahui tentang Tasya,  'tidak sabaran', begitulah kiranya.

Thalia mengerutkan keningnya,  "gue niat bantu lo, gue ikhlas, gue murni temenan sama lo dari hati, bukan karena uang-uang lo, Sya. Harusnya lo itu sabar dikit, nyatuin orang itu nggak semudah ngebalikin telapak tangan, semuanya butuh proses."

"Terus tahap proses lo itu udah seberapa persen? Lima puluh persen, ada?"

"Sya plis, kita baru balikan beberapa hari yang lalu," ucap Thalia yang sedang berusaha untuk bersabar, "oke, ralat. Maksud gue 'baikan'," lanjut Thalia mengoreksi perkataannya yang agak salah.

"Gue cuma bingung Ra, setiap rencana itu seharusnya ada peningkatan di setiap episodenya. Tapi, lo? Lo bahkan belum ngelakuin apa pun."

Astaga ... kuatkan iman Thalia ya Allah...

Tampaknya Tasya benar-benar terobsesi oleh sosok Atha. Kalo memang ia tidak bisa sabar, mengapa tidak mencoba, dan meminta bantuan pada orang tuanya saja? Itu lebih mudah menurut Thalia.

"Sya, ini bahkan belum ada satu minggu semenjak permintaan dari lo itu. Lagian gue masih punya kehidupan sendiri. Gue harus ngurus diri sendiri, bantuin Bunda, ngurusin sekolah. Jadi aktivitas gue itu nggak mungkin selalu terpaut ke misi lo," oke, tahan Thalia ... tahan.

Thalia berusaha menahan rasa emosionalnya saat berbicara dengan Tasya.

Tasya yang mendengar perkataan Thalia menganggukan kepalanya, "Oke, gue baru inget kalo lo juga masih punya kehidupan sendiri," ucap Tasya pada akhirnya seraya menundukan kepalanya, "tapi Ra, gue berharap banyak sama lo. Gue nggak tau harus pake cara apalagi. Ini bener-bener kesempatan gue buat deket dan dapetin dia. Gue nggak mau kehilangan dia lagi. Udah cukup selama beberapa tahun ini aja Ra." Tasya mengangkat pandangan sendunya dan menunjukan nya pada Thalia.

Ya, Thalia tau itu. Thalia tau bagaimana rasanya kehilangan sosok yang benar-benar kita sayangi.

"Gue tau itu, Sya. Tapi lo jangan sampe terlalu terobsesi sama dia, seperti yang lo bilang tadi, 'semua orang masih punya kehidupannya masing-masing'. Kalo nanti gue nggak berhasil nyatuin kalian, lo nggak usah maksain, karena Kakak kelas songong itu juga masih punya pilihannya sendiri." Thalia memberi arahan kepada Tasya, seraya menepuk pundaknya Tasya.

Bukannya terharu Tasya malah mendengus sebal, "Kak Atha itu nggak songong, Ra ... lo nya aja yang lebay, bilang dia sombong."

Thalia mengedikan kedua bahunya, " Lah, bodo amat."

"Ini nih, yang ngehambat keberhasilan misi. Lo itu sebenernya ada masalah apa sih sama Kak Atha?" tanya Tasya keheranan, pasalnya Thalia seperti memiliki dendam tersendiri pada sosok Atha.

"Banyak," jawab Thalia efektif.

"Ish dasar lo!" kesal Tasya.

Akhirnya Tasya mengubah posisi duduknya seperti semula, menghadap ke depan.

Alif dan Dino yang baru memasuki kelas pun heran dengan situasi Thalia dan Tasya yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, karena biasanya Thalia akan membaca novelnya sementara Tasya memberikan informasi seputar berita yang ada di sekolah.

Alif sendiri, memilih tak ambil pusing, ia malah segera duduk di kursinya—tepat di belakang Thalia.

Sementara Dino malah menghentikan langkahnya tepat di samping Tasya, "Tumben lo nggak ngerumpi? Malah diem-dieman."

"Berisik lo!"  sewot Tasya.

"Dih, pagi-pagi udah nyewot aja, ntar cepet tua. Kalian ada masalah?" tanya Dino melirik ke arah Tasya dan Thalia, bergantian.

Thalia mengangkat pandangannya ke arah Dino, kemudian ia menatap ke arah Tasya, keduanya saling mengangkat sebelah alisnya.

Setelah itu, Thalia tersenyum begitupun Tasya, intinya mereka saling memberikan senyuman smirk nya, lalu dengan lantang mereka menjawab pertanyaan dari Dino, "KEPO, LO!" 

Dino mendengus kasar, kemudian ia duduk di sebelah Alif. Alif hanya menahan tawanya, namun Dino bisa melihat jika Alif sedang  menahan tawanya dan seolah-olah mengejeknya.

"Kesel gue!" decak Dino, dihempaskannya tas ransel ke atas meja dengan kasar.

"WOY! WOY! WOY! PAK KUMIS, PAK KUMIS!" teriak salah satu siswa seraya memasuki kelas dengan tergesa-gesa, membuat murid yang lainnya kembali ke tempat duduknya semula.

Sehingga saat guru yang dimaksud itu masuk ke kelas, suasana kelas menjadi kondusif.

"Selamat pagi anak-anak!"

"PAGI, PAK!"

***

Ini emang sedikit, tapi, semoga kalian suka! :)

Jangan lupa baca ceritaku yang judulnya 'WHY ALWAYS ME?' judulnya emang udah nggak mainstream lagi, tapi isinya insya Allah, mainstream. Hwhw... 

Vote dan comment jangan lupa, thank you! ❤️

Comblang! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang