7. Baikan Bukan Balikan

200 44 11
                                    

Kesel, marah itu sama aja. Sama-sama berlandaskan kecewa.

***

Sore ini, selesai setor wajah pada Bundanya dan setelah membersihkan, juga merapikan diri, Thalia bergegas menuju rumah Tasya.

"Bang, kiri Bang!" ucap Thalia pada si Abang-abang supir angkot.

Jarak yang berlawanan membuat Thalia harus menaiki angkot saat menuju rumah Tasya. Untuk saat ini Thalia sengaja tidak menggunakan sepedanya. Karena sepeda itu sedang diperbaiki oleh pamannya, yang kebetulan membuka sebuah bengkel yang tidak berada jauh dari rumahnya. Sepulangnya dari sekolah tadi, Thalia langsung menyimpan sepedanya ke sana. Supir angkot itu kemudian memberhentikan mobilnya sesuai dengan instruksi yang diberikan Thalia tadi.

"Makasih ya Bang!" ucap Thalia seraya memberikan satu lembar uang lima ribu rupiah pada sang supir, lantas diterimanya dengan tangan terbuka. Setelah itu Thalia keluar dari mobil angkot tersebut kemudian berjalan menyusuri trotoar yang berada di pinggir jalan, perumahan area rumah Tasya.

Ia terpaksa harus berjalan sendirian dari depan gerbang kompleks sampai rumah Tasya. Angkot yang Thalia naiki tidak bisa masuk ke dalam kompleks perumahan itu. Semua karena peraturan yang berlaku di sana. Tasya memang tinggal di daerah perumahan yang terbilang elit, setidaknya dilihat dari segi bangunan juga lingkungan pun lebih bagus, dari pada kompleks di perumahan minimalis tempat di mana Thalia tinggal.

Kaki Thalia terasa sangat pegal saat berjalan dari pintu gerbang sampai ke dekat rumah Tasya yang menurutnya berada di ujung itu. Thalia tak pernah merengek merasa pegal seperti ini selagi dirinya menaiki sepeda. Tapi sayang sepedanya sedang diperbaiki, soal keranjangnya yang rusak karena ulah Atha.

Tuhkan, Atha lagi, Atha lagi.

"Dua kosong sembilan," baca Thalia pada sebuah nomor rumah yang berada tepat di sebelah rumah Tasya.

Thalia melihat rumah itu rapi dengan keheranan. Pasalnya, terakhir kali Thalia melihat rumah itu, tampak tak terurus sama sekali. Pintu gerbang yang selalu tertutup rapat, pagar rumah yang ditumbuhi tanaman merambat, dan juga terlihat tidak berpenghuni. Atau jangan-jangan saat ini rumah itu sudah berpenghuni? Ah, itu tidak penting bagi Thalia, yang terpenting saat ini adalah ia harus segera sampai dirumah Tasya. Dan meluruskan kakinya. Tanpa berpikir panjang lagi, Thalia mempercepat langkahnya.

Ting tong!

Thalia menekan bel yang disediakan pihak rumah Tasya di pintu gerbangnya.

Kemudian terdengar suara gerbang yang berbunyi, akibat gesekan antara permukaan tanah dengan besi pagar tersebut. "Eh, Neng Ara!" Panggil seorang satpam yang berjaga di rumah Tasya.

Thalia tersenyum menyapa satpam tersebut, "Sore Pak Muki!"

"Mau ketemu Non Tasya, ya?" tanya Pak Muki-nama satpam di rumah Tasya.

Thalia tersenyum mendengarnya, ternyata Pak Muki sudah hafal kebiasaannya mengunjungi rumah tersebut, untuk bertemu Tasya, ya kalau bukan Tasya siapa lagi? Tidak mungkin untuk bertemu Mama nya Tasya. Sebab Thalia tidak terlalu dekat dengan beliau, ataupun keluarga Tasya yang lainnya. Berbanding terbalik dengan Tasya sendiri, ia sangat dekat dengan keluarga Thalia.

"Tasyanya ada kan, Pak?" tanya Thalia.

"Oh ada kok. Tadi sehabis pulang sekolah Non Tasya langsung masuk ke kamarnya, dia kelihatan lagi sedih gitu Neng."

Thalia yang mendengar tuturan Pak Muki hanya bisa mendengarkan tanpa berujar yang sebenarnya. Thalia mengetahui penyebab dari kemurungan Tasya, itu semua pasti karenanya. Seharusnya tadi itu, dia tidak usah mengikuti Atha, seharusnya ia mementingkan sahabatnya, dari pada dirinya sendiri.

Comblang! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang