"Pagi Bunda..." ucap Thalia dengan riangnya saat berada di meja makan.
Terlihat Bundanya yang sedang membereskan piring-piring yng baru selesai dicuci.
"Pagi, sayang," ucap Bunda Thalia. "Tumben kamu bangunnya pagi?"
Thalia mendudukan tubuhnya di kursi, meja makan. "Bunda gimana sih? Lia kan, emang biasanya bangun pagi," jawab Thalia, kemudian ia meminum susu putih yang telah Bundanya buatkan.
Bunda Thalia yang tak lain bernama Mila itu terkekeh pelan mendengar ujaran sang anak. "Iya deh iya. Terus kemarin apa, kalo nyatanya kamu selalu bangun pagi?" tanya Mila menggoda, lebih tepatnya mengingatkan Thalia pada kejadian kemarin saat ia telat bangun dari jam biasanya, sampai tak sempat sarapan.
"Lah Bunda, diingetin lagi!" rajuk Thalia seraya memajukan bibirnya.
Mila menghampiri anaknya, dan ikut duduk bersebrangan di kursi, meja makan. "Iya, iya. Maafin Bunda kalo gitu."
Thalia merasa tidak enak hati, saat Mila meminta maaf padanya. Jika ada orang lain yang mengetahuinya, maka ia akan dicap sebagai anak yang tidak tahu makna etika.
"Eh, Bunda nggak perlu minta maaf juga kali."
Mila mengernyitkan dahinya heran, "Lho, emangnya kenapa?"
"Ng-nggak apa-apa kok. Oh iya Bun, keranjang sepeda Lia rusak." adu Thalia.
"Rusak? Rusak gimana? Bukannya selama ini nggak pernah rusak ya?"
Seketika pikiran Thalia malah teringat pada Atha yang menyebabkan keranjang sepedanya rusak.
"Ya gitu, kemarin ada Kakak kelas yang ngagetin Lia pake klakson motornya, ya Lia kagetlah. Terus pegangan tangan Lia copot dari sepeda, sepedanya jatuh eh malah nimbun Lia," jelasnya pada sang Bunda.
Mila mendengarkan tuturan anaknya dengan seksama.
"Lebih parahnya lagi Bun, dia itu sifatnya songong banget!" geram Thalia saat mengingat sikap Atha kemarin.
"Hush! Kamu jangan ngomong gitu dong, sayang. Nggak baik," tegur Mila. "Apalagi dia itu Kakak kelas kamu, iya kan?" tanyanya lanjut.
"Iya sih Bun. Tapi nih Bun, dia itu malah nyalahin Lia atas kesalahan yang dia buat sendiri. Kalo udah gitu, siapa yang nggak sebel coba?" cerocos Lia.
Mila tersenyum mendengar penuturan anaknya itu. "Yaudah kalo gitu, sabarin aja. Sekarang mendingan kamu minum susunya. Udah mau jam 06.00 tuh. Jangan sampe kamu telat lagi kayak kemarin."
Thalia mengangguk patuh, "Siap Bundaku!" ucap Thalia seraya hormat pada Mila yang sedang menggelengkan kepala, melihat tingkah lakunya. Kemudian ia segera meneguk habis susunya.
"Lia berangkat ya Bun," ucap Thalia, bangkit dari duduknya. Diikuti Mila yang juga bangkit, lalu menghampiri anaknya itu.
"Iya, kamu baik-baik di sana. Kalo Kakak kelas kamu gangguin lagi, telpon Bunda aja. Nanti biar Bunda yang jewer telinganya sampe merah!" ucap Mila dengan membara. Namun Thalia tau, Bundanya itu tak sungguh-sungguh dengan perkataannya itu.
Thalia terkikik geli mendengar penuturan Bundanya. Kayak yang berani aja, Bunda, ucapnya dalam hati.
"Ia Bunda..." ucap Thalia. "Kalo gitu aku berangkat ya Bun, assalamualaikum," pamit Thalia setelah mencium telapak tangan Tina. Setelah itu ia melangkahkan kakinya menuju keluar rumah.
"HATI-HATI SAYANG!" teriak Mila dari dalam rumah. Sayangnya, suaranya itu tak didengar oleh Thalia. Ia sudah keburu mengayuh sepedanya menuju sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Comblang!
JugendliteraturMenurut Thalia apa yang dialaminya saat ini lebih dari sekedar friendzone. Menyatukan sahabatnya dengan Kakak kelas yang jelas-jelas dihindarinya. Berlagak seperti Mak comblang profesional. Ini bukan Thalia sekali, Dude. Jadi, mampukah Thalia menya...