part 5. pendakian gunung I

3.1K 120 6
                                    

Aretha tak bisa menolak kecuali menerima perlakuan Nicho. Bagaimana bisa menolaknya? Kalau tenaga pria itu lebih kuat, bahkan sangat erat mendekap tubuhnya yang membuat buah dada Aretha menempel ketat di dada bidangnya. Namun secara perlahan-lahan tubuh keduanya mulai menghangat. Nicho pun mulai merasakan kekenyalan pada dada Aretha. Kenyal, padat dan kencang, seperti inikah pikirnya rasa dari payudara milik seorang perawan. Otak mesumnya berkeliaran kemana-mana seraya menggerakkan sedikit tubuhnya agar bergesekan, namun belum juga melakukannya tiba-tiba.

"Kak Nicho jangan macam-macam ya" Ancam Aretha ingin melepaskan dirinya, tapi dekapan Nicho malah makin kuat hingga ia tak bisa berkutik. "LEPASIN..."

Teriakan yang tertahan itu meluluhkan hati Nicho untuk melepaskannya. "Saya minta maaf, saya nggak bermaksud ingin berbuat yang macam-macam terhadap kamu, percayalah" Dengan sebisa mungkin ia menjelaskan supaya Aretha percaya, sementara Aretha langsung menutupi payudaranya pakai kedua tangan.

"Bagaimana saya mau percaya kalau kak Nicho ingin memanfaatkan keadaan"

"Jangan asal bicara kamu, saya nggak manfaatin keadaan, saya hanya nggak mau kamu kedinginan itu saja" Nicho segera membalikkan tubuh tak mau melihat kondisi Aretha yang masih bertelanjang dada, karena mau bagaimanapun juga pandangannya tak bisa berkedip jika berhadapan dengan tubuh indah itu. "Cepat pakai baju kamu, mumpung sekarang hujannya reda"

Tanpa di perintah pun memang Aretha sedang mengenakan pakaiannya kembali. "Sial, kenapa harus Nicho orang yang pertama yang melihat anggota tubuhku, huuhh..." Batinnya merutuk pria yang lagi konsentrasi memandang jalanan becek itu. "Memangnya dia yang akan menjadi suamiku nanti? Ah masak sih, mana mungkin ar bisa-bisa kamu akan terus makan hati kalau hidup bersamanya"

"Sudah belum pakai bajunya Aretha?" Ketus Nicho.

"Hmm..." Aretha hanya berdeham malas sembari mengeluarkan roti dan sebotol aqua dari dalam tas.

Begitu menoleh kearah gadis itu, Nicho dibikin melongo. Dengan lucunya pipi Aretha mengembung dan bergerak-gerak menelan roti tanpa menawari dirinya. Wah wah, benar-benar bikin Nicho meneguk liur saja. Secara ia juga sebenarnya lapar karena tadi harus buru-buru pergi sehingga tidak sempat sarapan. Alhasil jakunnya tampak naik turun menatap Aretha yang tak berhenti mengunyah. Cara gadis itu seakan-akan sengaja sekali ingin membuatnya kepengen, bahkan dia beberapa kali melirik Nicho yang berusaha untuk tetap tersenyum.

"Kenapa kak Nicho melihat saya seperti itu?" Tanya Aretha cuek.

"Oh itu" Nicho terlihat salting menunjuk pipinya.

"Kak Nicho mau ya?" Pancing Aretha melihat rotinya kini tinggal setengah.

"Kata siapa saya mau roti kamu" Bantah Nicho bersikap dingin, padahal batinnya sih ingin sekali menelan habis roti itu, tapi ia terlalu gengsi untuk mengakui.

"Terus apa yang kak Nicho tunjuk?" Aretha berhenti makan dan meraba pipinya sendiri.

"Karena kamu makannya seperti anak kecil, lihat bibir kamu, berantakan sama coklat" Nicho kembali menunjuk bibir Aretha dengan sebal.

"Bibir aku yang belepotan kenapa dia yang sewot, dasar aneh" Aretha membatin usai mendapati wajah sebal itu kemudian menyapu bibirnya pakai telunjuk, akan tetapi bukannya tambah bersih malah tambah belepotan kemana-mana tanpa disadari.

"Astaga Aretha, kamu sebenarnya bisa nggak sih" Antara ingin marah dan tertawa Nicho membersihkannya pakai telunjuk, namun tak disangka kedekatan itu membuat jantungnya berdetak lebih kencang. "Dag,,, dig,,, dug,,,"

Parahnya lagi Aretha merasakan bunyi jantung itu. Bunyinya persis seperti detak jantung yang berpacu saling mendahului. Apa ini cuma perasaan Aretha saja, tapi bunyinya begitu jelas. "Jantung kak Nicho kenapa?" Sembari menempelkan telinganya di dekat dada bidang itu.

Merajut Cinta Diantara Dosa ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang