16 • "Bikin susah orang tua."

5.6K 510 43
                                    

"Cantiknya Mama, kesayangannya Mama, bahagianya Mama. Cepat sembuh ya, nanti kita main masak-masakan lagi," ucap Ayesha seraya mengusap kepala Kiara.

Hatinya terasa sakit saat melihat ada jarum infus menancap di punggung tangan Kiara. Wajah anak itu begitu pucat karena beberapa kali muntah pagi tadi. Kemarin anak itu sudah muntah berkali-kali, hari ini ternyata masih saja menolak perutnya diisi. Entah karena cabai yang tertelan atau karena susu basi kemarin atau hal lain lagi, tapi semoga saja tidak.

Oh, Ayesha rasanya ingin sekali memutar waktu. Andaikan ia kemarin langsung menyimpan cabai di tempat yang tidak dapat dijangkau Kiara. Andaikan kemarin ia langsung membuang segelas susu yang telah dua hari ada di meja kamar. Malah diletakkan di dekat kompor, tidak langsung dibuang. Penyesalan sejak kemarin menyelimuti dirinya.

Sampai malam Kiara tidak kunjung membaik, justru semakin lemas. Akhirnya Ayesha membawanya ke rumah sakit. Seorang diri.

Entah kemana sosok yang Kiara sebut 'Papa' malam itu. Orang itu baru datang pagi-pagi, mengantar pakaian ganti. Itupun hanya sebentar, ada urusan, katanya.

Kiara merintih dan membuka matanya. Anak itu berkedip beberapa kali sebelum benar-benar menatap Ayesha. "Mama."

"Ada apa? Mau gendong?"

Anak itu menoleh ke kanan-kiri. "Opi mana?" Seperti tidak lagi merasakan lemas, Kiara berusaha duduk tapi dicegah oleh Mamanya. "Mama, Kia mau Opi," rengeknya. Ingin duduk malah didorong agar kembali berbaring.

"Opi ada di rumah—"

"Opi!" Tangisan Kiara pecah saat itu juga. Kakek Adam yang sedang beristirahat di sofa tersentak kahet. "Ada apa? Siapa yang mati? Kapan dikuburnya?"

Tangisan Kiara terhenti, dengan mulut menganga lebar ia menatap kakek buyutnya. Begitu juga dengan Ayesha.

"Ada apa?"

"Kia mau Opi." Kiara meletakkan kedua tangannya di depan dada, membuat gestur seolah-olah sedang menggendong si boneka kesayangan.

"Oh, boneka?" Kakek Adam mengambil benda yang tadi ia jadikan bantal, mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ini!"

Kiara menjerit dan menendang-nendang selimutnya. Wajahnya yang tadinya pucat berubah memerah. "Opi gepeng. Jelek. Enda suka!"

Ayesha mengembuskan napas cepat dan mengambil boneka Keroppi berbaju biru itu. "Ini, nanti juga gembung sendiri."

"Udah gepeng, enda mau!"

Kakek Adam mengendikkan bahunya dan kembali berbaring. Menyumpal telinganya menggunakan earphone dan mencari lagu campursari di YouTube. Melanjutkan mimpi indahnya.

"Gendong Papa." Kiara mengucek matanya dan menatap sekeliling. "Dimana?"

Si kakek kembali membuka matanya. "Memangnya Rendi kemana, Sha? Masih belum ke sini?"

"Biasa, kek. Ngerokok, tadi chat Esha. Katanya sih ketemu sama Beni di angkringan samping rumah sakit."

"Masih aja ngerokok," gumam Kakek Adam.

"Rendi sanggup enggak main HP seminggu. Tapi enggak sanggup libur ngerokok sehari aja. Susah, kek. Mau dibujuk, diiming-imingi hadiah, dirayu, tetap enggak mau."

"Opi bobok sini." Kiara mengabaikan dua orang yang sedang membicarakan Papanya itu. Memilih mengobrol dengan Keroppi. Ada belasan boneka yang ia miliki, tapi sejak dulu ia sayang dengan boneka kodok berwarna hijau ini. Meskipun sudah buluk dan bau iler, tetap menjadi kesayangan.

"Mama, Kia mau susu."

Melihat ada gelas susu milik Kiara sore tadi, oleh Ayesha langsung dibuang. Ia trauma dengan susu dalam gelas. Lebih baik membuat yang baru.

"Manjanya cucu kakek, sampai tidur aja harus dipuk-puk sambil nyusu," ledek kakek Adam. Merebut boneka Keroppi untuk dijadikan bantal.

Ayesha terkekeh saat Kiara gelisah dalam tidurnya, merasa kehilangan benda yang tadinya ia peluk. "Saking manjanya, sering berantem sama Papanya, kek. Nanti akhirnya Kiara nangis dan Papanya ngamuk."

"Mungkin Kiara udah ada rasa, kalau sebentar lagi punya adik."

Tawa Ayesha berhenti seketika.

"Sampai mana program the next cucu kakek?"

"Maaf, kek, bonekanya dibalikin. Takut Kiara kebangun," pinta Ayesha. Mengalihkan pembicaraan.

Kakek Adam mengernyitkan hidung. Kemudian menggelengkan kepalanya samar. "Bukan ranahnya untuk ikut campur," batinnya.

🕊️❤️

"Papa, tangan Kia sakit," adu Kiara. Menunjukkan bekas infus di tangannya yang ditutupi benda berwarna putih.

"Hm."

"Sakit. Tiup Papa."

"Fyuh, fyuh, fyuh. Dah sembuh." Rendi kembali fokus menatap layar laptopnya.

"Papa punya pe-er?" tanya Kiara pelan. Sebenarnya ia ingin seperti teman-temannya, dimanja oleh sosok yang mereka sebut 'Papa' setelah sakit. Tapi apalah daya. Papanya berbeda, kadang galak, menyebalkan, jahil, iseng dan suka membuatnya menangis, tapi Papanya tidak suka jika ia menangis.

"Jauh-jauh. Nanti tangannya kesenggol, nangis."

"Enda na—hua!" Kiara mengusap-usap punggung tangannya yang baru saja ditepuk oleh Rendi. Dengan air mata yang mengalir di pipi, anak itu berjalan mendekati Ayesha.

"Kenapa lagi?"

"Ma-u donat." Kiara merentangkan tangannya dan langsung digendong oleh Ayesha. "Mau donat yang rasa apa?"

"Rasa enak."

Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Kiara kembali anteng. Sesekali menatap tangannya yang terasa nyeri. Entah kabel apa yang kemarin menusuk tangannya. Sangat sakit.

"Epen, mawu dwonwat?" Kiara berjongkok dan membagi donat di tangannya. Masih ingat apa yang Rendi ucapkan beberapa waktu lalu. 'Harus berbagi sama Stephen. Dia itu keluarga. Anaknya Papa juga'.

Mendengar suara dari beberapa temannya, Kiara berjalan mendekati gerbang. Menatap sendu teman-temannya yang baru pulang sekolah.

"Mama, kapan Kia sekolah?" tanya Kiara, menatap Ayesha yang sedang menyiapkan makan siang.

"Nanti kalau Kia udah sembuh. Mama udah bilang sama Bu guru."

"Bukan." Anak itu menggelengkan kepalanya. "Kia sekolah teka. Enda suka sekolah pawut."

Ayesha menatap kalender. Masih bulan Januari. Apakah Kiara bisa masuk TK sekarang? "Nanti Mama bilang dulu sama Papa, soalnya, nanti Kia sekolah pakai uangnya Papa."

Anak itu menatap Ayesha lekat. "Kia mau Papa baru ...."

Ayesha terkekeh dan membenarkan ikat rambut Kiara. "Enggak boleh kaya gitu. Sekarang Kia cuci tangan dulu sebelum makan."

"Enda boleh kena air." Anak itu melotot garang. Memperlihatkan punggung tangannya.

"Iya deh. Kita ganti dulu, udah kotor."

"Mama, Opi mana?"

"Masih dicuci, belum kering."

Kiara mendesah pelan. "Kia enda punya teman, enda ada Opi. Sopi pergi."

"Hari ini kita main masak-masakan, oke?"

Kiara menatap Rendi yang berjalan menuju kulkas sembari bersiul, matanya berbinar saat melihat sesuatu yang diambil Rendi. "Kia mau es, mau es!"

"Eh, apaan sih, enggak boleh. Nanti sakit lagi. Ngerepotin. Bikin susah orang tua."

Dengan kompak, sepasang Ibu dan anak itu terdiam. Sama-sama merasa nyeri, di tempat yang disebut hati.

"Kia enda boleh sakit lagi."





Kalian apa kabar?

Young parents || Versi BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang