15 • "Buah."

4.7K 413 42
                                    

🐊 selamat membaca.


Setelah berkenalan singkat dengan Akbar—karena Indah pangling, tiga orang itu sudah pergi membeli anak ayam warna-warni. Menyisakan Rendi yang asik dengan anak ayamnya dan Ayesha yang tengah duduk di bangku bawah pohon jambu.

"Kapan kita liburan?" tanya Ayesha.

"Aku sibuk ngerjain proposal, Sha."

"Ke Ancol, Dufan atau ke Ragunan lihat monyet, Kiara enggak pernah liburan. Kalau teman-temannya cerita ini-itu, dia cuma dengerin sambil bengong."

"Anak empat setengah tahun, memangnya bisa cerita pengalaman? Paling cuma cerita halu."

Ayesha berdecak. "Ya cuma Kiara yang umurnya segitu. Yang lainnya udah TK, udah SD."

Rendi bersiul dan kembali memasukkan ayamnya. "Dah, aku mau ke kampus."

"Aku agak siangan nanti antar Akbar ke stasiun."

"Udah mau pulang? Kok cepat? Ya udahlah, enggak apa-apa." Rendi berbalik dan mengambil handuknya. Langkahnya terhenti saat Ayesha kembali bersuara.

"Aku ikut Akbar, boleh? Mumpung Kiara masih PAUD. Kalau bolos, enggak apa-apa."

"Ikut gimana?"

"Pengen pulang ke rumah Ayah. Kangen banget sama Ibu, boleh, kan?"

Rendi tidak menjawab, ia meneruskan langkahnya dengan tergesa.

Kurang dari satu jam, Kiara dan yang lainnya pulang. Sayangnya anak itu menangis sesenggukan. Tidak ada ayam warna merah jambu. Hanya tersisa warna hijau saja.

"Kia mau ayam, Ma," rengeknya.

"Besok kita cari lagi. Ayo mandi. Nanti ikut Mama ke stasiun."

Kiara mengusap air matanya. "Ada ayam lucu?"

"Nanti kita cari."

"Kia mau tujuh!" Anak itu mengacungkan empat jarinya.

"Paling cuma sehari. Besok pagi udah mati," gumam Indah. Keponakannya tidak mungkin anteng. Pasti anak ayam lucu itu dibuat mainan.

"Ayo kita mandi."

Kiara menggelengkan kepalanya. "Mau ayam."

Ayesha segera menggendongnya. "Kita mandi dulu, nanti cari ayam lagi."

Pagi tadi badan Kiara hangat. Mungkin di pasar tadi kepalanya terasa pusing dan ingin cepat-cepat mendapatkan apa yang ia mau agar bisa segera rebahan. Sayangnya yang dicari tidak ada.

Bukan hanya demam, Kiara juga terbatuk beberapa kali. Alhasil, setelah mengantar Akbar ke stasiun, Kiara tidak mau turun dari gendongan Ayesha.

"Turun sebentar, ya? Mama belum masak, udah sore soalnya," bujuk Ayesha. Punggungnya terasa pegal karena terus-terusan menggendong Kiara.

"Enda."

"Nanti malam Kia makan apa kalau Mama enggak masak?"

Kiara membuka matanya yang nampak sayu. "Enda usah makan."

"Harus makan dong, habis itu minum obat. Biar cepat sembuh. Kalau udah sembuh, kita cari ayam lagi, oke?"

Anak itu sudah tidak lagi tertarik dengan anak ayam. Hanya ingin tidur, dipeluk, dimanja, diusap dan digendong. Beberapa kali anak itu mengeluh kepalanya sakit. Tidak tahu apa itu pusing, yang pasti Kiara tidak suka.

"Kalau Kia mandi dulu, gimana? Soalnya Kia bau asem, nanti malam malah enggak bisa bobok kalau enggak mandi. Mandi, ya? Pakai air hangat."

Lagi-lagi ditolak oleh Kiara.

Young parents || Versi BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang