33 • "Kita berempat nangis bareng-bareng habis ini, oke?"

4.2K 371 41
                                    

Oke, endingnya beda dari yang versi lama 🙃

“Cantik ya, Sha.”

“Aku atau anakku?” tanya Ayesha. Mengusap kepala bayi yang ada di gendongannya.

“Yang baru beberapa jam hidup di bumi, tuh, cantik banget. Meskipun wajahnya masih merah.” Rendi berbalik dan menatap lekat-lekat bayi yang tengah tidur pulas.

Bayi yang pertama lahir, saat ini sedang asyik mengenyangkan perut. Berbeda dengan adiknya yang setelah minum susu untuk pertama kalinya tadi, masih tidur sampai sekarang.

"Anakmu yang baru lahir, cowok semua, Ren, masa cantik sih?" Ayesha merotasi bola matanya. Meskipun sebenarnya apa yang Rendi ucapkan ada benarnya. Si bungsu cantik, seperti dirinya, padahal laki-laki.

“Bangun dong. Ayo sambut kedatangan kakak dengan tangisan.” Rendi mencolek kaki si bungsu, berharap bayi itu bangun dan ingin menyusu.

“Ren, tolong dong, udah tidur lagi.”

Rendi menekuk wajahnya dan meletakkan bayinya yang lain di ranjang. Menatap keduanya yang sekarang sama-sama tidur.

“Padahal aku berharap pas Kiara ke sini, mereka nangis.”

“Ini udah jam lima lebih, kok Kiara belum ke sini ya, Ren?”

Pintu kamar dibuka kasar, Kiara turun dari gendongan Beni dan berlari mendekat. “Mama!”

“Sini, cium dulu. Yang udah jadi kakak, ceria banget.” Ayesha mengulurkan tangannya dan menciumi pipi Kiara.

“Kenapa baru datang?” tanya Rendi pada teman-temannya.

“Anak lo hilang. Tadi kita bingung nyari dia, sampai keliling perumahan. Ternyata tidur di ayunan rumahnya Pak Satria, tetangga ujung. Yang suka main bola sama Kiara.”

Kiara tidak peduli dengan mereka-mereka yang saat ini membicarakan tentang dirinya. Yang pasti, dengan penuh semangat Kiara menghampiri sebuah kotak yang katanya ada adiknya. Senyumnya seketika luntur saat melihat sang adik. Ia berjalan mundur, berbalik dan berlari menjauh.

Segera Beni menahannya. “Kenapa?”

Bibir Kiara berkedut dan air matanya mengalir. “Ki-kia enggak mau punya adik dua. Maunya satu.”

Tangisan Kiara semakin keras, dipeluknya anak itu oleh Beni saat kakek neneknya masuk.

“Kia maunya satu aja. Kalau dua, susah gendongnya.”

“Terus maunya gimana?”

“Enggak tahu. Tapi Kia maunya satu dulu, satunya kapan-kapan lagi.”

Juan tak sanggup lagi menahan tawa. “Ya udah kalau enggak mau punya adik dua. Yang satunya buat Om Juan aja. Setiap hari Senin sampai Jumat di rumah Om Juan.”

“Sabtu sama Minggu buat Om Deni.”

“Siniin dong bayinya satu, Ren.”

Tangisan dua orang bayi seketika beradu dengan tangisan Kiara. Rendi yang semua anaknya menangis di waktu bersamaan seketika kelabakan, bingung menenangkan yang mana dulu. Ia menggendong si bungsu dan ia berikan pada Ayesha, lalu si tengah ia berikan pada mertuanya dan si sulung ia gendong sembari usap-usap punggungnya.

“Tuh, adiknya enggak mau dipinjam sama Om Juan.”

“Tapi Kia enggak mau dua. Papa bohong, enggak bilang kalau adiknya dua!” jerit Kiara, kembali menangis.

“Kan enggak kelihatan kalau ternyata dua. Udah, jangan nangis.”

“Kia nanti bingung mau gendong yang mana, Kia enggak bisa gendong dua-duanya. Papa nakal!”

Young parents || Versi BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang