31 • "Aku pengen salto, tapi perutnya berat."

4.4K 381 45
                                    

Ih, ketemu lagi. Hai, kabarnya baik, kan? :)

Saat hamil Kiara, Ayesha tak pernah ngidam aneh-aneh, sebelum ia mengatakan apa yang ia inginkan, pasti lebih dulu Rendi memberikannya. Ikatan batin antara Rendi dan bayinya begitu kuat, pantas saja anaknya plek ketiplek dengan Rendi. Ayesha tidak kebagian apapun selain sakit punggung dan perutnya mlendung.

Berbeda dengan sekarang, Ayesha menginginkan apa saja yang baru saja Kiara dapatkan. Salah satunya adalah sepasang sepatu roda, pemberian orang tua Juan. Kiara begitu menyayangi kakek nenek barunya, tetangga sekitar rumah yang merindukan hadirnya seorang cucu. Akhirnya semua kasih sayang dilimpahkan pada Kiara, si anak tetangga, manusia termuda di komplek perumahan ini.

“Nanti kamu kegludak, jatuh, sakit, nanti nangis. Jangan cari penyakit.”

“Kan kayaknya seru, Ren, naik sepatu roda bareng-bareng sama Kiara. Syu ....” Ayesha meniru gerakan Kiara saat meluncur.

Rendi ngeri dengan perut besar perempuan itu, masih enam bulan, tapi sudah besar, apalagi jika sembilan bulan. “Itu perutmu besar loh, nanti kalau jatuh, gimana?”

“Kan ada kamu yang pegangi. Beliin ya, yang mirip sama punya Kiara.”

Rendi menggaruk kepalanya. “Ada yang lain gak? Pengen apa gitu ....”

Ayesha menjentikkan jari. “Aku pengen salto, tapi perutnya berat,” ucapnya sedih.

Laki-laki di depannya seketika kelabakan. Teringat saat Ayesha mengandung Kiara dulu. Pagi-pagi sekali, pukul tiga kurang satu menit, sudah gelisah ingin salto. Pantas saja tidur Rendi tidak nyenyak, ternyata sang anak sedang panik di dalam sana.

Ren, pinjam ponselnya. Mau lihat tutorial salto yang baik dan benar. Aku dari kemarin pengen salto, sampai kebawa mimpi.”

Rendi yang sedang mengumpulkan nyawa langsung melempar ponselnya ke sembarang arah. “Salto? Enggak, enggak, jaman SMA kamu salto malah jadi jungkir balik, punggungnya sakit waktu itu.”

“Tapi kepengen banget salto.” Ayesha dengan perutnya yang mulai berisi turun dari ranjang, menyingsingkan lengan bajunya dan menaikkan celananya. “Minggir.”

“Enggak.” Rendi merentangkan kedua tangannya di depan perempuan itu.

“Cuma salto sekali aja. Sekali. Tuing, udah.”

“Itu anak belum ada bentuknya, masih segede gula jawa, belum ada tangannya pula, di dalam enggak bisa pegangan sama usus kalau kamu salto.”

“Ih, enggak ada lima menit kok,” bujuk Ayesha.

“Nanti kamu sakit perut.”

Ayesha menyerah. Ia menurut dan kembali ke kasur. Tepat saat Rendi lengah, ia langsung berdiri dan ancang-ancang untuk salto. Baru saat tubuhnya diayunkan, perempuan itu memegangi perutnya.

“Nah, kan, sakit.”

Rendi bergidik saat ingat kejadian itu. “Kalau bisa salto, ya silakan.”

“Enggak bisa sih ....”

“Sepatu rodanya enggak usah ya, Sha, nanti kepleset, kamu jatuh. Terus perutnya makin sakit. Lebih sakit dari nyeri haid loh ....” Rendi menyentuh perutnya, menirukan ekspresi Ayesha saat mengalami nyeri haid saat mereka masih pacaran dulu.

Young parents || Versi BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang