28 • "Kia juga punya bintik-bintik kayak Mama!"

4.3K 441 63
                                    

Next next next ....

Kiara anteng menikmati makan malamnya. Begitu juga dengan Rendi yang sibuk memisahkan kulit ayamnya dan ia sembunyikan di bawah nasi.

“Aku kira kamu beli masakan padang, Pa,” ucap Ayesha yang baru bergabung.

“Anakmu minta ayam tepung.” Rendi kembali mengubur kulit ayamnya.

“Jangan pakai saus.”

Kiara mengurungkan niatnya yang hendak membuka botol saus ekstra pedas. Kembali menikmati makan malamnya dengan sesekali menoleh piring Rendi. Berharap menemukan benda yang biasanya disisihkan untuk dimakan terakhir.

“Tadi sore kenapa Kiara nangis?”

Rendi menelan nasinya yang belum sempat bertemu gigi. “Matanya kena shampoo.”

“Bohong.”

“Beneran, Sha. Tadi kena shampoo, bukan aku yang nakalin. Tanya aja sama anaknya.”

“Papa nyuruh Kia pakai odol pedas,” adu Kiara.

Dua jawaban yang berbeda. Ayesha kembali menatap Rendi. “Kena shampoo atau kepedasan?”

“Kepedasan dulu, terus nangis, habis itu matanya kena shampoo, nangisnya makin kencang.” Rendi menyuap nasi ke Kiara, anak itu tersedak dan wajahnya seketika merah.

“Pedas!” Kiara langsung menandaskan segelas air yang Ayesha berikan. “Kia udah kenyang, Ma.”

Kini Ayesha celingukan ke seluruh penjuru dapur dan ruang makan. “Kamu pikir aku enggak butuh makan, Pa?”

Rendi menatap piringnya yang tinggal tulang dan kulit ayam. “Yah ..., udah aku makan, Sha. Kamunya enggak nongol dari tadi sih. Kan aku khilaf, makan semua nasi sama lauknya.”

Melihat sesuatu di piring Rendi, Kiara segera mengambilnya. “Kia suka ini.”

“Kulit ayamku ....”

Kiara tersenyum lebar dan menelan kulit ayam yang baru saja ia masukkan mulut. “Lagi, Pa.”

“Enggak.” Rendi berdiri dan menyelamatkan sisa kulit ayamnya, meninggalkan istrinya yang kelaparan dan anaknya yang menginginkan kulit ayam.

Sekitar pukul sembilan, Rendi baru meletakkan piring kotornya di wastafel. Ia melongok ke tempat sampah, ada satu bungkus mie instan di sana. Segera ia mencari Ayesha. “Sayang!”

“Setelah sekian lama menikah, akhirnya diriku menemukan bungkus mie rasa ayam bawang di tempat sampah. Kesambet apa kamu kok tumben mau makan mie?”

Ayesha yang sedang mengoleskan salep tersentak saat Rendi membuka pintu dengan cepat. “Apa?”

“Kamu makan mie instan?”

Perempuan itu mengangguk. “Suamiku soalnya aneh, udah tahu istrinya sakit, harus makan dulu sebelum minum obat, tapi semua nasi dimakan sama dia.”

“Ya ampun, kasihan banget. Suaminya jahat banget sih.”

“Ngapain ke sini? Mau bantu pakein salep?”

“Aku cuma mau bilang kalau mulai besok, Kiara kerja di toko. Banyak banget barang yang rusak gara-gara dia. Daripada cuma main-main, mending kerja aja. Meskipun cuma ngepel atau bukain pintu.”

“Enggak apa-apa sih. Kamu mau tidur di sini?” tunjuk Ayesha pada kasur yang ia duduki.

“Enggak. Soalnya kamu dari kemarin enggak mandi. Ngeri, Sha, kamu sakit cacar tapi badannya jadi kayak sisik ular.”

Ayesha menatap lengan, paha juga betisnya. Lalu menyingkap kaus tanpa lengan yang ia kenakan. “Orang cacar ya kayak gini, Ren. Bintik-bintik airnya banyak.”

“Oh iya, kamu tahu, Sha? Setiap habis salat, Kiara pasti berdoa gini.” Rendi duduk di lantai dan menirukan Kiara yang sedang berdoa. “Ya Allah, semoga Mama cepat sembuh. Kia takut, Mama berubah hijau kayak kacang panjang.”

“Kacang panjang?”

“Iya. Enggak tahu dia bisa bilang kayak gitu, dapat inspirasi darimana. Yang pasti, bukan aku yang ngajarin.”

“Terus gimana lagi?”

“Ya Allah, Kia takut Mama jadi hijau kayak Khrisna. Eh tapi, Khrisna kan warnanya biru. Pokoknya Kia mau Mama cepat sembuh. Aamiin. Udah, selesai doanya.”

“Hua! Papa! Kia juga punya bintik-bintik kayak Mama!” teriak Kiara disertai tangisan.


🕊️❤️



Kiara mengiran itu cacar. Ternyata bukan. Ternyata remahan rempeyek yang menempel di tangannya. Kini gadis kecil itu asyik mengunyah bolu kukus buatan Papanya atas instruksi Mama. Semalam Papa bergadang untuk membuat bolu kukus bantat dan sedikit asin ini.

Mendengar suara ketukan pintu, segera Kiara melompat turun dari sofa dan membuka pintu. Ia terdiam menatap orang yang asing menurutnya.

Kiara memiringkan kepalanya. “Kamu siapa?”

“Mama ada?”

“Ada. Kamu mau ketemu Mama ya? Tapi kamu jangan takut ya. Soalnya Mama bintik-bintik. Kia takut, kemarin Mama bintik-bintik air, sekarang bintik-bintik hitam.”

Orang itu mengangguk.

“Oke. Kamu tunggu dulu, biar Kia yang panggil Mama. Nama kamu siapa?”

“Kia, ada siapa?” tanya Ayesha yang sibuk memasang jarum pentul di kerudungnya.

“Em ... enggak tahu namanya. Dia orang. Terus ... dia kayak Papa, laki-laki.”

Ayesha muncul dan si tamu itu terlihat terkejut. Kiara langsung memukul kakinya. “Tuh kan, kamu takut. Kan Kia udah bilang, kalau Mama bintik-bintik.”

“Kamu kenapa, Sha?”

“Cacar, Mas. Udah mulai kempis kok, sini masuk.” Ayesha meremas tangannya. Ingin sekali memeluk tamu itu, sayangnya tidak ingin bintik-bintiknya pecah dan merembet ke bagian lain dan semakin banyak lagi.

“Dia siapa, Ma?” tunjuk Kiara pada si tamu yang kini duduk di sofa.

“Dia kakaknya Mama. Pak dhe kamu.”

“Apa itu pak dhe?”

“Uwa.”

“Wah. Kia belum salim. Salim dulu.” Kiara mengulurkan tangannya dan bersikap sok manis. “Uwa mau kue? Tapi bantat, itu Papa yang buat tadi malam. Rasanya juga asin. Mau?”

“Ini buat kamu.” Bukannya menjawab, orang yang katanya Uwa itu memberikan sesuatu. Oleh Kiara langsung dibuka.

“Yupi kadal!” Anak itu duduk di lantai dan membuka bungkus Yupi untuk ia nikmati. “Kia suka kadal!”

“Fahri?”

Ayesha ikut menoleh ke pintu. Menatap wajah perempuan itu lalu menatap pantulan wajahnya di kaca lemari pajangan. “Aku putri buruk rupa.”

“Sini, masuk. Sha, kenalin, dia yang Mas Fahri ceritain waktu itu. Namanya Aisyah. Terus, Syah, dia adikku yang udah nikah. Ini anaknya.”

“Oh, hai! Aku Aisyah,” sapa perempuan itu. Mendekati Ayesha dan reflek Ayesha mundur. “Aku cacar, nanti ketularan.”

“Yah ....”

Ayesha memiringkan kepalanya. Merasa tidak asing dengan suara dan gerak-gerik orang itu. Ia memukul bahu kakaknya. “Mas, Mas. Dia kok mirip sama yang jadi Maria yang ada di film Ayat-ayat Cinta itu sih? Mirip banget gaya ngomongnya.”

“Masa?”

“Seriusan. Cantik banget, Ya Allah. Enggak kayak aku. Bintik-bintik kayak gini.”

“Hu’um. Mama bintik-bintik, jadi jelek,” sahut Kiara. Anak itu berdiri dan menyalami Aisyah. “Namaku Kia, anaknya Mama sama Papa.”

Ayesha kembali memukul bahu kakaknya. “Kamu ngilang kemana sih, Mas? Kok pulang-pulang bawa calon. Aku pikir kamu pergi karena marah sama aku. Belum pernah kamu ketemu Kiara setelah dia lahir.”

“Dia teman kuliah dulu, Sha. Ketemu lagi pas acara penggalangan dana korban bencana alam. Oh iya, Rendi mana?”

“Masih bobok,” jawab Kiara. Kembali asyik dengan Yupi kadalnya.

“Rendi bajingan! Lo kentut di muka gue!”

“Rendi sesat, bangke, bangsat! Kentutnya bau banget!”

“Itu Indah, Sha?” tanya Fahri.

Ayesha mengangguk dan memilin ujung kerudungnya. “Aku minta maaf, gara-gara aku kalian putus dan—“

“Hey. Itu bukan salah kamu. Berarti kita memang enggak jodoh. Kamu—“

“Papa saru!” seru Kiara.

Fahri dan Ayesha langsung menoleh ke arah pintu masuk ruang tamu. Rendi berdiri di sana hanya dengan kolor bergambar Winnie the Pooh.

“Pakai bajunya, mandi sekalian,” omel Kiara. Menarik Rendi agar menjauh.

Fahri meringis dan menatap perempuan yang datang bersamannya. “Syah, bisa tolong ajak Kiara keluar sebentar?”



.....

Young parents || Versi BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang