"Cepetan kak Rey. Ih lama deh, sebel!"
Rengekan penuh dengan nada kekesalan itu entah sudah berapa kali terdengar. Berdiri dengan wajah masam, bibirnya tertekuk cemberut menatap sang kakak penuh geregetan.
Aiden Wang, bocah itu mulai menghentakan kaki dikala sumber dari segala kekesalannya justru berjalan santai menuruni anak tangga tanpa beban. Melewatinya begitu saja dan justru menyapa sang Ibuㅡbukan dirinya yang notabene sudah menunggu lama bahkan nyaris hilang kewarasan.
"Pagi, Mah." sapa Reyden sembari membubuhkan kecupan ringan ke pipi kanan sang Ibu. Lantas menarik kursi dan duduk manis di meja makan. Memperhatikan sang Ibu yang sibuk menata barang belanjaan ke dalam kulkas.
"Siang." jawab Diana pelan. Lebih tepatnya mengoreksi sapaan putra sulungnya itu. Sangat tidak cocok jika jarum jam di dinding sudah menunjuk ke angka sebelas dan putranya itu masih menyebutnya pagi. Bahkan kata pagi terlalu melenceng yang mana seharusnya kata kesiangan jauh lebih tepat.
Seperti biasa Diana hanya bisa memaklumi. Sudah terlalu wajar jika hari libur seperti ini putranya itu selalu bangun kesiangan. Entah apa yang dilakukan Reyden ketika malam. Entah begadang bermain game atau apa, Diana juga tidak tahu. Yang pasti putra sulungnya itu tidak akan bangun dibawah pukul sepuluh jika sedang menikmati hari libur.
"Sana makan dulu terus cepat bawa adikmu itu pergi. Mamah pusing dengerin dia ngomel terus." titah Diana sembari menutup pintu kulkas dan berganti ke pantry. Membuatkan susu hangat yang menjadi minuman wajib kedua putranya di saat pagi hari. Kalau untuk sekarang ini menjadi siang hari.
"Kak Rey!"
Teriakan itu kembali mengudara bersamaan dengan munculnya Aiden. Bocah berusia 5 tahun itu masih sama memasang tampang sebal.
Kehadiran Aiden yang lagi-lagi berteriak itu membuat Diana menoleh sekilas namun tidak dengan Reyden. Pemuda itu mengabaikan dengan sibuk menyantap masakan sang Ibu. Seolah Aiden adalah makhluk halus tak kasat mata dan Reyden malas sekali meladeni.
"Kak Reyㅡ"
"Apasih, berisik banget!"
Kepala Reyden menoleh, menatap nyolot ke sang adik. Selain mengganggu acara makannya pun juga dengan indera pendengarannya. Heran betul mulut adiknya itu toa sekali. Pusing Reyden setiap hari mendengarnya.
Coba saja jika dulu sang Ibu tidak kebobolan atau mungkin senjata milik Ayahnya dibalut dengan karet pengaman, pasti dunia Reyden jauh lebih damai nan tentram tanpa kehadiran sang adik. Tidak ada suara teriakan dan tangisan yang demi Tuhan sungguh membuat penging telinga.
Diibaratkan nyaris setiap hari Reyden dilanda depresot dan mental breakdance hanya karena menghadapi bocil kematian semacam Aiden. Berisik sekali, serius.
Ingin sekali Reyden tukar tambah saja rasanya, atau dijual sekalian saja deh. Tapi sayangnya adik sendiri.
Aiden berjalan mendekat, menarik-narik kaos putih yang Reyden kenakan. "Katanya mau berangkat jam delapan, ini udah jam sebelas kak Rey."
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKE BOYFRIEND
FanficNatasha Kalalisaㅡharus terjebak dengan permainan yang diciptakan gadis itu sendiri. Kejadian tak terduga mempertemukannya dengan laki-laki bernama Reyden Wang. Dirasa menemui seseorang yang tepat, muncul lah ide gila milik Lisa yang meminta laki-lak...