Chapter 32

748 26 0
                                    

Layar laptop yang kini berhadapan denganku masih menampilkan wajahnya. Oh, apakah aku terlihat dan terdengar selebay itu? Pada dasarnya, hanya karena melihat dan memandangi wajahnya sudah mampu membuat hatiku nyaris tenang. Walau ... ya, aku tahu keadaan pada saat ini bukanlah waktu yang tepat. Tapi, itu hanya mengalir begitu saja, tanpa kuperintah.

Setelah sekian waktu aku menceritakan semuanya yang kualami, Gavan tampak menyalurkan ketenangannya padaku lewat senyum tulusnya. Senyum itu yang mampu membuatku terhanyut oleh satu rasa yang nyaris mampu menghapus segala rasa yang abu-abu serta berkecamuk di dalam rongga dadaku. Yang tadinya menyesakkan, perlahan-lahan runtuh dengan sendirinya. Ya, hanya karena senyumannya.

"Lo tau gak, Kal?" Pertanyaan itu meluncur dengan nada yang tidak begitu kukenali.

Aku menautkan alis, "apa?"

"Lo kurang berusaha."

Tiga kata yang mampu membuat bibirku kelu. Tidak bisa berkutik dan termenung.

"Lo tau, 'kan, nyatanya kalo orang yang bener-bener berusaha, bakalan dapet keberhasilan yang gak berujung. Kalo lo dapet kekecewaan, sama aja lo kurang usaha. Masih ada kesempatan kedua, Kal."

Aliran itu mulai terbentuk perlahan demi perlahan dan sedikit demi sedikit. Aku menghapusnya dengan terus menerus. Entah kerja otakku yang sedang bagaimana, karena yang ada dalam pikiranku hanya keberadaan Gavan di sampingku. Menenangkanku seperti biasanya. Bukan lewat media seperti ini.

"Kal? Kenapa nangis? Eum, ada yang salah ya sama setiap ucapan gue? Sori...,"

"Gak, Gavan! Gue cuma ... ya ...," Tidak, tidak. Aku tidak boleh bilang yang sebenarnya. Itu hanya akan membuatnya merasa bersalah, sedih serta tidak enak hati. Aku sudah berjanji, bukan, untuk mendukungnya menuju cita-citanya? Ya, aku tidak boleh berkata yang sebenarnya.

"Nggak. Gue ... ya, gue cuma mikir kalo sebenernya gue udah dapetin kesempatan kedua itu, tapi gue sia-sia-in, Gav," Aku menghirup udara dalam-dalam, kemudian melanjutkan, "ya, ya udahlah ya, gue rasa gue harus akhirin semuanya. Dan ngelupain semuanya. Anggap semuanya hanya masa lalu ... dan selesai."

Raut wajah Gavan tampak mengeruh seketika. Oh, apa aku salah lihat? Atau ... kenyataannya memang begitu?

"Gue gak suka." Tiga kata lagi yang mampu membuatku terdiam. Maksudnya apa?

Gavan terlihat menghela napas panjang. "Gue gak suka lo yang kayak gini, Kal. Lo tahu? Lo yang kayak gini itu seolah-olah lo anggap semuanya gampang. Padahal lo pernah bilang kalo hidup itu susah, sulit, dan keras. Tapi lo sendiri? Kenapa lo anggap semuanya mudah? Nggak, Kal, gak kayak gitu." Aku membuang muka, beralih dan menatap pintu balkon kamarku yang berwarna putih. Sekarang apa lagi? Aku harus bagaimana lagi? Aku berjuang, salah. Semuanya terasa tidak adil. Dan sekarang, aku akhiri pun salah. Aku harus bagaimana lagi?!

"Kal, gue ngerti perasaan lo. Tapi gue mohon, jangan kayak gini. Lo gak bakalan mau, 'kan ngerasain ini untuk yang kedua kalinya?

"Dulu lo gak berdamai sama masa lalu, lo tutup-tutupin semuanya, dan akhirnya apa? Semuanya kebongkar, 'kan? Dan lo mikir; kenapa gak dari awal aja lo damai sama masa lalu, dan buka lembaran baru? Intinya, yang lo dapetin apa? Rasa menyesal, Kal. Dan sekarang, lo mau kayak gitu lagi? Mau terul-"

"NGGAK, GAV GUE GAK MAU!" bentakku. Aku menatap Gavan, dalam. Menyalurkan bagaimana perasaanku sekarang. "Gue gak mau, Gavan. Gue gak mau kayak dulu. Gue ... apa salahnya, sih gue ngerasain yang namanya capek? Gue capek, Gavan. Capek! Gue pengen semuanya cepet selesai. Udah, itu aja.

"Tapi kenyataan yang terus terkuak, bikin gue gak berani. Gue cuma takut. Takut lubang hitam yang udah ada semakin lebar dan ... dan akhirnya gue jatuh terlalu dalam. Dan akhirnya gue gak bisa bangkit lagi. Dan akhirnya gue gak bisa bahagia. Gue gak mau!" Dan setelah ini, isak tangisku pun keluar. Menguar dan menjadi pengiring perasaan yang tidak berujung. Dan inilah yang aku inginkan. Terisak. Bukan meneteskan air mata sedikit demi sedikit. Yang tidak berkesan apa-apa, malah semakin membuat pilu yang merembes.

"Kal, gue bilang lo kurang berusaha. Ilangin rasa takut lo kalo lo mau semuanya selesai. Isn't that simple, right?" Dan detik berikutnya, kepalaku terdongak untuk menatap Gavan lagi.

"Hah? Apa? Lo bilang itu simpel? Are you crazy or what? Oke, mungkin maksud lo ngilangin rasa takut di ekspektasi. Bukan di realita. Iya? Gitu, 'kan?" jawabku sengit.

Gavan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Kalista, denger. Apa susahnya ilangin rasa takut lo dan berusaha lagi dengan keberanian yang udah lo buat? Apa susahnya?!"

Aku menghirup udara dalam-dalam. Entah sejak kapan datangnya, mengapa aku merasa emosi? "Iya. Gampang banget, ya ngelakuinnya. Tapi sayangnya, itu cuma ada di pikiran lo!"

"Nggak, Kalista. Gue serius."

"Gue lebih serius, Gavan!" bantahku tegas.

"Ya ... ya udah, kenapa lo harus bilang itu susah?"

"Kenyataannya emang susah! Gak ada yang mudah di dunia, Gavan!"

"Lo tau? Lo kemakan omongan lo sendiri." Raut wajah Gavan yang datar membuatku semakin kesal.

"Oke, terserah! Terserah lo mau bilang apa! Gue ngantuk dan bener-bener capek. Bye." Sepersekian detik, aku langsung mematikan laptopku dan meletakkannya di meja belajar. Merangsek ke dalam selimut dan memejamkan mata. Dan kali ini aku berpikir bahwa tidak ada gunanya bercerita padanya.

Aku lelah, dan aku butuh istirahat. Walau sesulit apa pun itu.

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang