Chapter 23

930 32 2
                                    

Batu nisan yang menancap di tanah merah legam di pusara ini, kini bertuliskan nama gadis kecil yang mulai dari satu bulan lalu sudah masuk ke dalam hidupku. Memberikan kesan yang berarti untukku; sebagimana aku merasakan yang namanya mempunyai adik. Sebagimana aku juga merasakan kehangatan dan kelembutannya. Dan sebagaimana rasa sayang ini yang mulai timbul dalam diriku, dalam hatiku. Tapi kini aku tidak bisa lagi merasakan kehangatan dan kelembutannya. Aku tidak bisa lagi melihat senyum yang selalu tulusnya itu. Aku tidak bisa lagi merasa ringan jika berada di dekatnya. Semuanya kini tinggal kenangan. Kenangan yang sudah melekat di otak dan hatiku. Yang nantinya akan terus berputar kala aku merindukannya.

Gavan berdiri di samping Tante Viska. Ia merangkul Mamanya untuk menenangkannya, yang kini tengah menangis sesenggukkan. Aku meratapi semua ini dengan hati yang terus bergetar, sakit. Sejujurnya, ini tak adil untuk Ari. Umurnya masih terlalu muda. Tapi takdir dan kemungkinan selalu berkata lain. Semuanya tidak semudah dan seindah pada kenyataannya. Dan inilah takdir, takdir yang menentukan batas hidup seseorang. Tapi tetap saja, itu ganjil bagiku, bagi Tante Viska, bagi Gavan, dan bagi semua orang yang menyayanginya.

Mama mengelus lenganku dengan lembut. Aku menatapnya dan dia hanya tersenyum. Aku mengalihkan pandanganku lagi ke arah pusara Ari. Air mata terus menetes dari mataku. Ingin sekali rasanya aku berteriak bahwa aku baru sebentar merasakan kehangatan yang diberikan Ari, lalu dengan kejamnya Ari meninggalkanku, tapi itu tidak bisa. Aku menghapus air mataku yang sudah mengalir deras. Aku menghapusnya terus menerus walau air mataku tidak ingin berhenti sekarang.

Setelah membacakan doa untuk Ari, orang-orang yang mengerubungi pusara Ari kini satu persatu mulai meninggalkan pusara setelah mengucapkan bela sungkawa pada Tante Viska dan Gavan. Selang tujuh menit berlalu, semua orang dan kerabat Tante Viska kini meninggalkan pemakaman. Lima teman Gavan-yang termasuk dalam geng populer di sekolah yang entah sampai sekarang aku tidak tahu namanya apa-menghampiri Gavan dengan wajah maklum pada kondisi Gavan sekarang.

"Van, yang sabar ya, gue turut berduka cita atas kepergian adek lo." Ujar cowok bertubuh tegap dengan rambut agak klimis, yang aku tahu namanya itu Reza.

"Iya gue juga. Yang sabar aja, Bro. Gue, Bagas, Dika, sama Anton turut berduka cita. Jangan kelamaan ya sedihnya, jelek lo sedih lama-lama." Ujar salah satu teman Gavan dengan rambut bergaya hairflip dengan warna rambut hitam pekat yang Tania bilang namanya adalah Alfian.

Gavan terkekeh sumbang lalu mengangguk. "Thanks, guys. Makasih banget deh kalian pada dateng."

"Yoilah, ya kali kita-kita pada gak dateng saat temen kita lagi berduka? Man please, kita gak sejahat itu, oke." Sahut Dika dengan wajah jenaka.

Ya, aku tahu nama-nama mereka itu dari Tania. Tapi bodohnya, aku tidak pernah bertanya nama geng mereka. Karena sayang sekali, aku tidak peduli. Lama Gavan dan temannya berbincang-bincang, akhirnya kelima teman Gavan itu pamit pulang pada Tante Viska dan juga Gavan. Setelahnya, mereka berjalan meninggalkan pemakaman yang hanya menyisakan aku, Tania, Mama, Tante Viska, dan juga Gavan di sini.

"Sayang, Mama pulang ya? Mama harus rapi-rapi rumah dulu, nanti malam kalau sempat, Mama akan datang ke rumah Gavan. Kamu gak apa, 'kan di sini sama Tania?" Pertanyaan Mama membuatku langsung mendongak ke arah Mama, menatapnya. Lalu aku mengangguk mengiyakan dan tidak keberatan jika aku di sini dengan Tania. Toh, kalau aku sendiri juga tidak apa. Masih ada Tante Viska dan Gavan, 'kan.

"Bu Viska, sekali lagi saya ucapkan kalau saya turut berduka cita atas kepergian anak Bu Viska. Saya tahu kalau sekarang Bu Viska sangat merasa sedih. Tapi Ibu harus bersabar. Ini sudah kehendak Allah dan takdir yang sudah ditentukan. Satu lagi, saya juga mohon pamit pulang karena ada keperluan juga." Tante Viska menoleh ke arah Mama dan juga menampilkan senyum simpul. Aku tahu, Tante Viska belum bisa tersenyum karena musibah yang menimpanya ini.

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang