Chapter 3

2K 70 3
                                    

Aku memasukkan alat-alat tulis serta buku-ku ke dalam tas. Setelahnya aku berdiri dan berniat untuk segera pulang. Tapi, satu tangan mencegahku dan membuatku berhenti berjalan. Aku menoleh ke belakang untuk menatap cowok ini--Gavan, teman sebangku-ku. Aku menatapnya dengan malas, tetapi dia hanya nyengir tidak jelas.

"Apa?"

"Hm... Gapapa, sih sebenernya. Oiya, pulang bareng mau?" tawarnya.

Aku berpikir sejenak saat mendengar tawarannya karena, ya aku sedikit kaget mendengar tawaran klisenya itu. "Gak." Dan selepas itu aku langsung melepaskan tanganku dari cekalannya.

"Kenapa emangnya?" tanya Gavan dengan satu alis yang terangkat.

"Gue gak mau," balasku sekenanya.

"Hm, ya udah deh."

Tanpa pikir panjang, aku langsung pergi berjalan meninggalkannya di kelas. Yang lainnya sudah keluar kelas. Aku berjalan di koridor 11 ini dengan tidak peduli terhadap sekitarku. Aku tahu, seharusnya aku itu peduli dengan sekitarku. Tapi, apa yang harus aku pedulikan dari sekitarku? Hanya tatapan sinis, mengejek, dan tidak suka itu yang harus aku pedulikan? Tidak. Itu hanya membuang-buang waktu.

"Heh!" Suara seseorang membuatku berhenti berjalan. Aku tahu, sahutan itu pasti untukku. Aku tidak berbalik arah ke belakang. Aku tetap diam di tempatku, menunggu orang--yang memanggilku--ini berjalan untuk bertatap denganku. Aku mendengar derap langkahnya. Kini orang itu sudah di hadapanku. Ya, dia Berty. Mantan sahabatku.

"Apa?" tanyaku dengan nada datar.

"Nerdy, gue bilangin ya sama lo. Lo gak boleh sok deket-deket sama anak baru kelas lo itu. Lo gak pantes buat deket sama dia. Dan lebih tepatnya adalah sangat gak pantes buat semua orang! Ngerti lo?" katanya penuh penekanan dan dengan nada sinis. Aku menatapnya masih dengan tatapan datarku. Sebenarnya, ucapan Berty sama sekali tidak penting untuk dilontarkan. Dia hanya membuang-buang waktu.

"Tanpa harus lo bilang juga gue udah ngerti. You're just wasting your time." Balasku. Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Berty.

"Oke, bagus deh kalau gitu. Oiya Nerd, gue mau bermain-main sama lo!" ucap Berty dengan penekanan di kata 'bermain-main'. Maksudnya apa?

"Maksud lo?" tanyaku dengan mengernyitkan kening. Tanpa membalas pertanyaanku, Berty langsung menarik lengan kananku dan mengajakku untuk berlari. Aku sangat kaget ketika Berty langsung mengajakku berlari, yang bisa kubilang lumayan cepat.

Dan pada saat itu juga aku merasakan dadaku sesak seperti tertimpa beban yang berat dan napasku pun mulai tidak beraturan.

"Ber-ty. Ber-hen-ti!" kataku dengan sekuat tenaga.

"Gak akan. Gue gak akan berhenti sampe gue udah puas!" balasnya dengan berteriak. Aku tidak membuka suara lagi. Percuma saja, Berty tidak akan berhenti sampai dia puas!

Sekarang aku mulai merasa lemas dan tidak kuat lagi. Pandanganku sudah agak berkunang-kunang. Kupastikan, kini aku--ralat, kami berlari sudah lewat dari 5 menit. Dan aku tidak pernah berlari lagi saat skandal itu datang menghampiriku.

Aku berusaha melepas tanganku dari cekalannya dengan sisa-sisa tenaga yang masih kupunya. Dan itu berhasil. Tapi, tidak berhasil bagi kondisiku.

Gelap. Hanya itu yang kulihat. Dan setelah itu aku tidak lihat dan tidak tahu apa-apa lagi.

*

Aku membuka mataku perlahan karena rasanya mataku sangat berat untuk terbuka. Samar-samar aku melihat seseorang. Seseorang yang baru kukenal hari ini. Seseorang yang duduk sebangku denganku. Gavan. Ya, itu dia.

"L-lo udah sadar?" tanyanya dengan air muka cemas, saat kulihat wajahnya. Pandanganku sudah sepenuhnya jelas, tapi aku masih merasa lemas dan dadaku agak sesak. Aku butuh obatku.

"T-tas...," ucapku dengan suara parau.

"Ha? Bentar-bentar. Gue ambilin." Gavan mengambil tasku dan memberikannya padaku. Aku menerimanya dan berusaha mencari obatku, yang selalu kubawa saat sekolah. Setelah obatku ketemu, aku langsung menelan pil tersebut tanpa air!

"Heh! Lo gak butuh air apa?" tanya Gavan dengan bingung. Aku hanya menggeleng dan bernapas lega. Sesak di dadaku sudah lebih baik dari sebelumnya. "Oiya. Btw, itu obat apa?" tanya Gavan. Aku terdiam sejenak ketika Gavan menanyakan 'itu-obat-apa'. Aku gak mungkin kasih tau dia tentang penyakitku. Gak akan.

"Lo gaperlu tau." Balasku ketus.

"Ya udah kalau lo gak mau kasih tau juga gak pa-pa. Lo mau gue anter pulang?" Aku langsung menggeleng mantap. Dan dengan tiba-tiba satu pertanyaan muncul di otakku. Dengan segera aku langsung menanyakan 'pertanyaan' yang muncul dari otakku ini.

"Gav, kok lo bisa ada di sini? Bukannya terakhir kali gue itu lagi sama Berty ya?" tanyaku to the point.

"Oh itu. Tadi, gue liat lo lagi lari gitu sama... Siapa tuh tadi namanya? Be-Berty, ya? Nah, terus gue ngikutin kalian gitu. Abisnya kalian lari lumayan kencenglah kalo lari buat ukuran cewek. Pas gue ngikutin kalian, tiba-tiba tangan lo lepas dari cekalannya si Berty itu. Lo jatoh dan tiba-tiba jatoh. Ya, lo pingsan.

Pas saat itu juga, gue langsung lari ke arah lo. Si Berty itu kelihatan kayak kaget dan kayak ketakutan gitu pas gue sempet liat dia. Dia pergi lari ninggalin lo. Gue bopong lo ke UKS. Dan untungnya UKS belum dikunci. Dan sekarang lo udah sadar. Udah. Gitu ceritanya." Jelas Gavan. Aku manggut-manggut paham mendengar penjelasannya.

"Thanks ya, Gav," kataku dengan tulus. Ya, dengan tulus. Karena, hanya Gavan satu-satunya orang yang mau membantuku. Hanya dia. Dan tidak ada yang lain. Mama juga masih peduli padaku (tapi ini sedang di sekolah). Maka dari itu aku sangat berterima kasih padanya.

"Sama-sama Kalista Okalina." Balas Gavan dengan senyum yang terukir jelas di wajahnya.

"Gue gak suka dipanggil nama panjang gitu. Lo cukup panggil gue Lista."

"Haha. Emang kenapa?" tanya Gavan dengan tawa kecilnya.

"Ya gak pa-pa, gak suka aja. Udah ah gue mau pulang. Nanti Mama gue nyariin."

"Oke, oke. Gue anter ya? Plis," tanya--ralat, itu tidak seperti pertanyaan, tapi permintaan. Aku berpikir sejenak dan akhirnya mengangguk dengan ragu. "Nah gitu dong, ya udah ayo."

Dan untuk hari ini aku pulang tidak tepat pada waktunya.

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang