Chapter 19

1.6K 40 1
                                    

Hari ini aku sudah diperbolehkan untuk pulang dan kemungkinan besar, besok aku sudah diperbolehkan untuk sekolah lagi sama Mama. Kali ini, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada ini.

Dari tiga hari yang lalu, Gavan terus menemai dan menjengukku ketika ia sudah pulang dari sekolah. Entah dari mana asalnya, aku sangat-sangat nyaman ketika berada di sampingnya. Ketika ia jail padaku. Aku mulai merasa terbiasa dengan sikapnya, terbuka akan semua perlakuannya. Seperti sekarang ini, Gavan membantuku dan Mama untuk mengemas barang-barang untuk dibawa pulang kembali.

"Nak Gavan, udah sini tante aja yang beresin. Kamu gak usah bantuin, jadi ngerepotin gini." Mama berkali-kali mencegah Gavan agar tidak membantunya. Tapi dengan halus nan tegas, Gavan tetap bersikeras untuk membantu Mama merapikan barang-barangku. Aku jadi merasa tidak enak.

Selang beberapa menit, Mama-dan juga dibantu Gavan-selesai merapikan barang-barangku. Kini Mama tengah pergi keluar sebentar untuk memesan satu taksi, dan hanya menyisakan aku dengan Gavan di ruangan ini. Aku merasa canggung seketika, padahal biasanya aku akan merasa biasa saja. Tidak seperti sekarang ini.

Mungkin karena baru empat hari ini aku baikan sama Gavan, jadinya canggung kayak gini, sanggahku dalam hati, yang niatnya untuk menepis rasa canggung ini.

"Ehm. Kal, besok lo sekolah?" Aku bernapas lega akhirnya Gavan mengakhiri sesi canggung ini.

"Iya." Jawabku kemudian.

"Hm, kenapa lo gak istirahat dulu aja? 'Kan, lo baru pulang dari rumah sakit?" tanyanya lagi.

"Gak betah lama-lama di rumah. Gue pengen belajar lagi, pasti gue udah ketinggalan banyak pelajaran dan juga materinya." Jelasku. Itu alasan yang logis, 'kan?

"'Kan, lo pinter. Dan gue yakin, dari ketertinggalan lo dalam materi yang udah diajarin saat lo sakit, lo pasti udah ngerti dan paham." Timpal Gavan.

Aku tersenyum kalem mendengarnya. "Gak juga. 'Kan gue udah jarang belajar dan jarang buka buku saat sakit, emang ya lo bisa jamin kalo gue bakalan paham sama ketertinggalan gue dalam materi? Nggak, 'kan?"

Gavan diam, tampak berpikir sebelum ia membuka suara kembali. "Gue yakin pasti lo ngerti dan paham. Percaya deh sama gue." Katanya tiba-tiba dan terlihat sangat antusias. Aku jadi heran.

Aku mendengus. "Percaya sama lo? Percaya sama Allah," kataku dan malah membuat Gavan terenyak.

"Yaelah, gue juga tau. Tapi maksudnya gak gitu, Kal. Kipa nih gue jadinya!" sungutnya. Aku tertawa kecil melihat wajah Gavan-yang menurutku-sangat lucu ketika sedang seperti ini.

"Iya, iya. Gue cuma bercanda, kok. Udah ah gue kasian sama lo." Kataku dengan nada bercanda.

"Kasian kenapa, coba? Gak usah kasianin gue. Lo mah lagi sakit juga ngeselin banget, sih." Tuturnya.

"Yang ngeselin, 'kan gue bukan lo!" kataku sambil memeletkan lidah ke arahnya.

Gavan memutar kedua bola matanya. "Ya, ya, ya. Terserah lo deh. Udah yuk, mending sekarang kita ke bawah aja nyamperin nyokap lo." Ajaknya yang langsung kuangguki.

Tapi... Tunggu, tunggu!

Tadi katanya... Kita?

*

Hari ini aku sudah diperbolehkan Mama untuk sekolah. Sumpah aku seneng banget udah bisa sekolah lagi!

Hari ini, aku tidak berangkat dengan bis, melainkan akan dijemput Gavan. Hm, sedikit terselinap perasaan senang juga, sih, sebenarnya. Tapi, aku juga harus memikirkan gimana nanti aku di sekolah. Kalian pasti tahu, 'kan, di sekolah nanti aku akan bertemu dengan Berty. Aku masih berpikir keras, rencana apa yang akan dia buat kalau mengetahui aku dan Gavan sudah baikan.

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang