Chapter 34

712 23 0
                                    

Selama tiga bulan ini, aku melewati hari-hari yang cukup melelahkan. Mulai dari pendaftaran dan mengikuti test masuk ke Universitas IPB, dan Alhamdulillah diterima. Serta rutinitas seperti layaknya mahasiswi yang selalu dikelilingi tugas-tugas yang diberikan dosen. Dan hal itu cukup menyita waktuku untuk sekadar menghubungi Gavan serta mengobrol bersama Nathan dan juga ... Mama. Dan terlebih lagi, seperti yang kalian tahu, Mama pun sibuk akan pekerjaannya. Dan kami sama-sama sibuk dengan kewajiban kami.

Seperti sekarang contohnya, tugasku yang menumpuk di meja kini terlihat begitu menggoda untuk cepat-cepat diselesaikan dalam waktu dekat. Oh, bahkan kalau bisa aku ingin hari ini aku mengerjakan seluruh tugasku, non-stop. Itu pun kalau bisa, karena sekarang sudah pukul lima sore, yang akan menjelang malam. Jika besok aku tidak mau berangkat kuliah dengan mata panda dan wajah lecek, lebih baik aku ambil aman untuk membagi waktu mengerjakan tugas-tugasku.

Setelah dua tugas selesai, aku merebahkan tubuhku di karpet berbulu berwarna pink ini sembari menghela napas panjang. Memejamkan mata sebentar serta meregangkan otot beberapa waktu. Dan karena sekarang aku dalam proses merileks, pikiranku pun tanpa kuperintah menuju pada satu nama yang membuatku tertegun lantas menyentak dari pejaman mata. Gavan. Entah sudah berapa minggu-atau bahkan sudah hampir tiga bulan aku tidak pernah skype-an lagi dengannya? Atau setidaknya ber-email ria seperti saat ... SEBELUM AKU TERAKHIR SKYPE YANG DALAM KONTEKS BERTENGKAR ITU! Oh astaga, apa yang sedang aku pikirkan?! Mengapa baru sekarang aku sadar kalau selama tiga bulan ini aku lost contact dengannya?

Aku mengusap wajahku dengan gusar, menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih bersih dengan tatapan kosong. Dan sekarang bisa kukatakan kalau otakku sedang blank. Aku tidak bisa berpikir apa saja yang tengah ia lakukan, bagaimana dengan kondisinya, bagaimana dengan tugas-tugas kuliahnya yang banyak dan apa saja cerita-cerita menarik yang sudah dia alami di sana. Aku merasa panik juga bersalah. Dan kenapa harus scene terakhir skype-an itu harus dengan kejadian yang tidak diinginkan?

OH! Aku lupa! Aku belum cek emailku lagi! Siapa tahu ada email dari Gavan? Dengan satu gerakan pasti, aku langsung mengambil laptopku dan membuka emailku. Dengan harap-harap cemas serta sedikit pengharapan yang ada, aku merefresh dahulu kemudian...

Hah? Apa? Tidak ada email yang masuk dari Gavan?! Sama sekali?! Dan hal ini semakin membuatku panik dan takut. Aku menyentak laptopku ke samping kiri dan aku membaringkan tubuhku lagi. Sedikit harapan itu pupus sudah dan tergantikan dengan sesak yang tidak terkira. Sebenarnya ada apa? Aku yang terlalu egois atau Gavan yang benar-benar marah padaku? Ya setidaknya dia kasih aku kabar atau pesan yang mengarah pada saat itu. Tapi ... kumohon, satu pun tidak ada pesan yang masuk darinya. Air mataku merebak jatuh sesaat setelah aku merasa bahwa Gavan benar-benar marah padaku. Tapi Gavan tidak pernah seperti ini! Aku kenal dia, sangat mengenalnya. Ini bukan sehari atau pun seminggu. Tapi ini tiga bulan! Dan aku masih bingung siapa yang benar-benar salah di sini. Aku atau dia.

Dan tapinya lagi, pertanyaan itu harus aku singkirkan jauh-jauh! Karena yang harus aku lakukan sekarang adalah meng-emailnya duluan. Ya, aku harus melakukannya. Meski hanya menanyakan kabar. Tidak apa, yang penting aku sudah memberinya pesan duluan, 'kan?

Aku mengambil laptopku kembali dan mengetikkan satu kalimat yang sangat-sangat biasa.

Gavan, apa kabar?

Tidak, tidak. Aku tidak boleh terpengaruh. Sudah kubilang, 'kan tadi, yang penting sekarang aku sudah mengirimnya pesan duluan! Dan setelah mengirimnya, yang harus kulakukan selanjutnya adalah menunggu.

Menunggu balasan darinya.

Serta menunggu kepulangannya ke sini. Bertemu denganku lagi dan seperti dulu.

Walau entah sampai kapan. Yang jelas aku akan tetap menunggunya, sampai perisai janjiku hancur karenanya Bukan karena orang lain. Dan apa pun itu.

*

Tidak tahukah ia, kalau di sini dirinya menunggu yang belum tentu pasti?

Tidak tahukah ia, kalau apa yang dirasa dirinya di sini?

Seperti layaknya hujan yang jatuh ke permukaan dengan cepat. Merembes ke tempat-tempat yang diinginkannya.
Rasa yang dirasakan dirinya pun begitu. Dengan cepatnya jatuh ke rasa rindu, merembes ke rasa sesak, sedih, dan hampir putus asa.

Dan kapan berhentinya hujan, hanya akan ditentukan oleh yang Maha Kuasa.

Sama seperti kapan perasaan dirinya berhenti begitu, hanya ditentukan oleh ia

Kehadirannya yang selalu ditunggu dirinya, lewat sang waktu.

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang