Chapter 2

2.1K 67 3
                                    

Aku berjalan dengan gontai memasuki kamar, yang aku inginkan hanyalah tidur. Melepaskan semua penat yang terjadi hari ini.

Jadi, semenjak perusahaan Papa bangkrut dan kedua orangtuaku berpisah, kehidupanku hanya itu-itu saja.

Aku bersiap memakai seragam hari Kamis pagi ini, tidak lupa juga aku memasukkan buku-buku pelajaran hari ini serta seragam olahraga yang terlihat masih baru, karena aku jarang banget ikut olahraga.

Aku berjalan sendiri melewati koridor lapangan yang mulai agak terlihat ramai. Miris memang, kalau aku harus berjalan lagi-lagi 'sendiri'. Baiklah, ini memang fakta. Aku tidak punya teman sama sekali. Orang-orang datang padaku kalau hanya 'butuh' dan ada maksud tersendiri.

Aku duduk di tepi lapangan sambil memandangi siswa-siswi yang sedang asyik berolahraga. Berlari-larian, bermain volly, atau hanya sekadar berjalan-jalan santai di bawah teriknya matahari.

"Woy, lo Nerdy! Sampe kapan lo nggak mau ikut pelajaran olahraga? Kerjaan lo tiap hari cuma baca buku doang! Gak punya bakat, ya? Hahaha, hama lo dasar!" ejek Berty. Dia cewek paling populer di sekolahan ini, dan dia termasuk dalam daftar black list-aku! Karena aku tidak suka dengan sikapnya yang egois itu. Aku tidak menghiraukan ejekannya. Lebih baik aku diam daripada berurusan dengan manusia sepertinya.

Oke, aku akan bercerita sedikit. Dulu sewaktu SMP, aku dengan Berty memang teman paling akrab. Sampai teman-teman masa SMP-ku memberi kami julukan 'Duo Heboh' karena (di mana ada aku, di situ juga pasti ada Berty) dulu sewaktu SMP kita pun selalu duduk bersama di bangku yang sama. Dulu aku percaya Berty itu tulus berteman denganku. Tapi itu... DULU!

Aku memang tidak pernah ikut pelajaran olahraga, bukan berarti nilai olahragaku terjelek di kelas. Malahan aku termasuk rentetan nama siswi berprestasi di sekolahku. Guru olahragaku selalu memberiku tugas berupa tulisan atau pun makalah, yang tentu saja itu sudah kuanggap urusan sepele bagiku. Bukannya aku menggapampangkan setiap pelajaran, tapi kegiatanku sehari-hari hanya berkutat di buku-buku yang memang sudah seharusnya aku pelajari.

Bel pelajaran olahraga sudah terdengar beberapa detik yang lalu, aku mengganti pakaian olahragaku yang masih terlihat baru. Tanpa terkena setetes keringat sedikit pun. Jujur saja, sebenarnya aku iri pada mereka semua. Mereka yang dapat berlari-larian tanpa peluh yang berlebihan, mereka yang dapat bermain volly, ataupun mereka yang sedang berada di bawah teriknya sinar matahari tanpa dampak yang berlebihan. Aku ingin hidup normal. Hidup seperti mereka.

Aku berjalan dengan langkah santai menuju kelas dan mendengar beberapa anak yang tengah bergosip ria. Selalu, pikirku.

"Lo tau gak? Katanya hari ini ada siswa baru, cakep lho katanya," ujar siswa berbandana merah dengan agak heboh.

"Iya, gue udah denger. Katanya, sih anaknya bakal masuk kelas kita lho. Aduh, kalo cowoknya ganteng pasti gue pacarin deh pokoknya!" ujar seorang cewek satunya yang memakai bandana berwarna pink.

Kelas kita? Sudah pasti kelasku juga.

*

"Selamat siang anak-anak," sapa seorang guru Kimia kami yang baru memasuki kelas. Tidak! dia tidak seorang. Tapi, ada seorang cowok yang sedang mengikutinya dari arah belakangnya.

"Anak-anak, hari ini kita kedatangan siswa baru di kelas ini, ibu harap kalian dapat berteman dengannya." Jelas guru Kimia itu.

Aku sibuk membaca novelku lagi yang selalu kusembunyikan di kolong meja, agar aku dapat membacanya saat aku sudah selesai mengerjakan tugas atau pun sedang tidak ada jam pelajaran.

"Hei!" suara seseorang membuat kepalaku refleks mendongak dan mataku mendapati seorang cowok bertubuh tinggi dengan seragam putih abu-abu yang masih terlihat baru. Ya, itu adalah seorang murid baru di kelasku!

"Gue... Boleh duduk di sini, 'kan?" tanyanya dengan suara berat khas cowok.

Aku mengedikkan bahu lalu mengangguk tak acuh, lalu aku meneruskan kegiatanku yang tertunda--membaca novel.

Cowok baru ini langsung duduk di kursi sebelah kananku, aku hanya meliriknya sekilas, lantas mengalihkan pandanganku ke novelku lagi.

"Nama gue Gavan," secara tiba-tiba, cowok di sampingku ini memperkenalkan namanya. Aku menoleh ke arahnya dengan satu alis terangkat.

"Terus?" tanyaku tak acuh dan berusaha bersikap tenang, datar dan dingin--terutama pada orang yang baru kulihat.

Cowok itu--ralat, tadi dia bilang namanya Gavan, hanya terkekeh geli dan menatap tepat di manik mataku.

"Gue bakalan jadi temen sebangku lo dan, ya... Gak asik aja temen sebangku tapi gak tau nama, aneh 'kan. Jadi, nama gue Gavan dan nama lo siapa?" jelasnya dan aku hanya manggut-manggut lalu mengalihkan pandanganku ke novelku lagi. Aku tidak berniat untuk memberi tahu namaku padanya. Entahlah, rasanya lebih baik dia tahu sendiri.

"Gue nany--"

"Kalista. Dan setelah ini jangan ngomong lagi."

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang