Chapter 14

1.2K 34 0
                                    

Dengan cepat aku merapikan seluruh alat tulis dan buku-bukuku, lalu memasukkannya ke dalam tas. Langsung saja aku keluar kelas dengan langkah cepat, tapi kakiku tersandung kursi yang didudukki Gavan, dan aku pastikan kalau aku akan tersandung dan jatuh saat ini, aku menutup mataku, tidak berani melihat lantai yang akan kucium nanti.

Beberapa detik aku menutup mata, tapi aku tidak merasakan sakit di bagian wajah atau tubuhku, malahan aku merasakan pinggangku dilingkari lengan seseorang. Aku membuka mataku perlahan. Jarak lantai dengan wajahku sekitar 10 centi dan aku bersyukur karena tidak jadi mencium lantai.

Aku mengerjap ketika mengingat sesuatu, pinggangku!

Aku memberontak dan berusaha untuk berdiri normal. Napasku tercekat, saat melihat Gavan yang kini ada di hadapanku. Aku berusaha menetralkan napasku senormal mungkin, tapi percuma saja, kali ini ruang untukku bernapas sangat sempit.

Gavan menatapku dengan datar dan berdeham sebentar. "Lain kali hati-hati." Katanya dan langsung berlalu dari hadapanku. Aku terdiam dan berbalik untuk melihat punggungnya yang kini sudah tidak terlihat karena ia sudah keluar kelas. Di kelas ini hanya ada aku sendiri, berdiri sambil menatap ke bawah, ke sepatuku lebih tepatnya.

Aku hanya bergeming. Aku juga sama sekali tak berniat untuk bergerak sedikit pun. Aku sudah nyaman dengan posisi seperti ini. Diam, dan tidak ada orang yang mengganggu.

Sudah hampir beberapa menit aku berdiam diri seperti ini. Tapi rasa nyaman itu masih ada, membuat semua organ kerjaku berhenti dan membiarkan aku tetap berdiri sambil menatap ke sepatuku, seperti ini.

"Eh, lo orang bukan, ya? Lo ngapain berdiri disitu?" Suara seseorang membuatku tersadar dari pikiranku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati seorang perempuan dengan rambut yang digerai cantik dan kacamata frame yang juga membingkai bagian matanya.

Aku tersenyum samar. Hanya itulah jawabanku, tersenyum samar tanpa sepatah katapun.

Cewek itu mengerutkan keningnya lalu berjalan menghampiriku.

Dia berdiri di hadapanku dengan tiga buku yang cukup tebal di dalam pelukannya.

"Lo lagi ada masalah, ya? Kok muka lo gitu banget?" tanya perempuan yang ada di hadapanku ini. Dan pertanyaan perempuan ini sangat tepat.

Aku tersenyum lemah dan menggeleng pelan. "Nggak kok."

"Beneran? Tapi muka lo kayak orang yang lagi banyak masalah, tau. Oiya, nama lo siapa? Gue Tania, 11 IPA-3," katanya, memperkenalkan diri, dan mengulurkan tangannya.

Aku tersenyum lagi dan menjabat tangannya. "Gue Kalista, 11 IPA-1 dan ini kelas gue," kataku.

Tania terkekeh pelan. "Iya gue tau di sini kelas lo. Oiya, salam kenal ya, Kalista," ujar Tania sambil tersenyum ramah.

"Salam kenal juga, Tania."

"Lo gak mau pulang?" tanyanya.

Aku terdiam sejenak. "Ini mau pulang kok, lo mau pulang juga?" tanyaku balik.

"Iya! Bareng aja, yuk?" ajak Tania sambil nyengir lebar.

Aku mengangguk ragu. "Hm, boleh."

*

Aku duduk di bis dengan Tania yang berada di samping kananku, yang kini sedang memainkan ponselnya.

Aku memutuskan untuk mendengarkan lagu dari iPod yang jarang kubawa ke sekolah, tapi hari ini aku membawanya. Aku mengambil iPod-ku dari dalam tas dan juga earphone-nya. Setelah itu aku memasangnya dan mencari lagu yang pas untuk sekarang.

Jariku berhenti meng-scroll ketika tertera satu judul lagu yang dulu pernah-bahkan sering-kudengar, dan juga bersamanya kala itu. Aku tersenyum miris dan mengklik untuk mendengarkan lagunya.

Setelah lagu Me without you-Ashley Tisdale terputar, aku mengalihkan pandanganku ke kaca bis ini. Memeperhatikan jalanan yang sekarang mulai macet dari balik kaca bis.

"It's just you and me. And there's no one around. Feel like I'm hanging by a thread. It's a long way down,"

"I've been trying to breathe. But I'm fighting for air. I'm at an all time low. With no place to go. But you're always there,"

"When everything falls apart. And it seems like the world, is crashing at my feet. You like me the best. When I'm a mess. When I'm my own worst enemy. You make me feel beautiful. When I have nothing left to prove. And I can't imagine. How I'd make it through. There's no me without you. No me without you, no no."

Bis berhenti di halte dekat rumahku. Aku tersadar dan mematikan lagu yang sedang kudengarkan.

Tania menatapku ketika bis berhenti, aku balik menatapnya dan tersenyum. "Gue turun di sini. Duluan, ya." Pamitku dan Tania mengangguk sambil tersenyum.

Aku beranjak dari dudukku dan turun dari bis kemudian menyalakan lagu yang sedang kudengarkan di iPod-ku lagi, dan berjalan pelan menuju rumahku yang tidak jauh dari halte ini.

Aku menghayati setiap lirik lagu yang kudengarkan.

"Pictures in my pocket. Are faded from the washer. I can barely just make out your face. Food you saved for later. In my refrigerator. It's been too long since later never came,"

"I know. One day eventually. Yeah, I know. One day I'll have to let it all go. But I keep it just in case. Yeah, I keep it just in case,"

"In case. You don't find what you're looking for. In case. You're missing what you had before. In case, you change your mind, I'll be waiting here. In case, you just want to come home,"

"Strong enough to leave you. But weak enough to need you. Cared enough to let you walk away. I took that dirty jacket. From the trash right where you left it. 'Cause I couldn't stand to see it go to waste."

*

Aku menatap langit-langit kamarku ketika kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Sedetik kemudian, aku memejamkan mataku dan mengatur napasku. Setelah cukup, aku membuka mataku kembali dan menatap langit-langit kamarku, lagi.

Pikiranku melayang ke kejadian tadi siang saat pulang sekolah. Dia berubah, benar-benar berubah. Maksudku, dia benar-benar menepati kata-katanya untuk menurutiku agar menjauh dariku. Tapi, kenapa dengan semudah itu dia menjauhiku? Apa dia tidak sadar, kalau aku berusaha dengan susah payah untuk tidak bertegur sapa, dan tidak memandangnya?

Ya, aku lupa. Semua orang itu, 'kan sama saja, ya? Semuanya tidak ada yang manis di depan dan belakang. Seharusnya aku sadar, kalau aku tidak boleh menerima Gavan masuk ke dalam hidupku-menjadi temanku. Seharusnya pada awalnya aku melarang dan menjauhinya, bukan malah mengikuti alur dan waktu yang melencang dari pendirianku.

Dari segi itu saja aku sudah salah menerima Gavan masuk ke dalam hidupku, apalagi besok, atau pun nanti? Pasti akan menjadi salah dan mungkin berantakan. Tapi, tidak ada yang tahu nantinya akan bagaimana. Baik atau buruk.

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang