Chapter 18

1.2K 27 1
                                    

Dengan senyum mengembang, Gavan mengajakku berkeliling di taman rumah sakit. Entah kenapa, aku merasa sangat senang saat ini.

Saat ini, Gavan mengenakan kemeja putih dengan jeans panjang yang benar-benar membuatnya lebih tampan dari biasanya, eum, maksudku lebih baik dari biasanya.

"Kenapa, sih dari tadi senyum-senyum mulu?" Suara Gavan membuatku terasadar dan menggeleng cepat.

"Siapa yang senyum-senyum, gak ada tuh." Jawabku, dusta. Karena nyatanya, sedari tadi aku memang tersenyum terus. Entah karena aku sudah berbaikkan dengan Gavan atau... Aku tidak tahu.

"Ah boong, palingan juga lagi mikir kalo gue ganteng, 'kan." Aku tertegun dan mengerut jijik. Terlalu pede, batinku.

"Ngarep!" Sergahku.

"Yaelah, Kal, fakta kali," katanya dengan nada percaya diri yang amat kentara. Aku semakin merasa jijik dengannya. Kenapa Gavan terlalu pede?

"Terserah." Tandasku, mengakhiri obrolan ini. Karena, aku tahu pada akhirnya, aku harus mengalah dan membuat Gavan semakin percaya diri.

"Nah, udah sampe, nih." Ujar Gavan ketika kami sudah berada di taman rumah sakit-yang sedari tadi sangat ingin kudatangi karena melihat gadis kecil yang hampir mirip dengan Arylin.

Aku tersenyum gembira karena gadis kecil itu masih berada di tempatnya dan masih bermain dengan kupu-kupu cantik yang terus menghampirinya. Walau jarakku dan jaraknya berkisar kurang lebih lima meter, tapi aku masih dapat melihatnya.

"Kal, bentar ya gue ke sana dulu, tuh, ke anak kecil itu." Gavan menunjuk objek yang memang sedang kuperhatikan juga. Aku mengerutkan kening ketika terasadar ada yang aneh dari Gavan.

Kenapa Gavan bisa tahu kalau aku juga lagi perhatiin anak kecil itu?

"Woy, Kal."

Aku tersentak kaget dan kontan langsung menatap Gavan. "Eh, iya, kenapa?"

Gavan menghela napas. "Jangan bengong aja, ntar kesambet. Gue ke anak kecil itu dulu ya." Ulangnya.

"Eh, tunggu! Lo tau anak kecil itu?" tanyaku, mencegah Gavan yang sudah bersiap menghampiri gadis-kecil-itu-yang-entah-aku-tidak-tahu-namanya.

Gavan mengangguk. "Iya, emang kenapa?" tanya Gavan balik, dengan satu alis terangkat.

"Ng, emang anak kecil itu siapa?" tanyaku lagi, belum puas dengan jawaban yang diberikan Gavan, bahwa Gavan mengetahui siapa anak kecil itu.

Gavan memandangku bingung. "Lah emangnya lo lupa? Kayaknya waktu itu, 'kan lo udah pernah ketemu sama adek gue, kenapa jadi lupa? Tidur berhari-hari ngebuat lo lupa, ya?"

Kontan aku langsung melotot kaget ketika mendengar kata adek gue dari mulut Gavan.

Tunggu, tunggu. Berarti, anak kecil itu adiknya Gavan dong? Bener dong pikiranku yang tadi itu? Tapi... Kenapa Arilyn bisa ada di sini? Atau jangan-jangan... Arilyn kecelakaan? Ya, sepertinya Arilyn kecelakaan, karena perban yang ada di bagian kepala dan kaki kanannya lah yang memperjelas semuanya.

"Kal, astaga jangan ngelamun, ih!" pekik Gavan tiba-tiba dan itu membuatku terlonjak kaget dan menatap Gavan dengan tajam.

"Gak usah mekik gitu kenapa, sih! Lebay banget!" sungutku kesal.

"Makanya jangan ngelamun mulu, bikin orang panik aja! Gue kira, 'kan lo itu kesambet, dari tadi ngelamun mulu." Celetuk Gavan dan langsung membuatku melotot ke arahnya.

"Terserah! Udah sana pergi!" usirku pedas.

"Bener nih? Ya udah gue pergi ya, terus lo di sini deh sendirian, dadah...," Gavan berniat meninggalkanku saat aku langsung mencengkram kemejanya.

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang