Chapter 20

1.2K 30 3
                                    

Semuanya telah kembali seperti semula. Tidak ada lagi kebohongan yang harus aku tutup-tutupi dari Gavan, dari semua orang. Gavan pun bisa menerimaku walau ia sudah tahu kebenarannya, dia bisa mengerti tentang perasaanku dan masa SMP-ku yang menurutku sangatlah buruk jika dibanding dengan masa SMA-ku sekarang ini. Aku dan Gavan sudah dekat seperti dulu lagi, tapi rasa canggung lah yang menjadi perbedaan di antara kita. Hm, ralat, maksudku-aku dan Gavan. Jujur saja, untuk menyebutkan kata kita di antara aku dan Gavan itu masih sukar bagiku. Walaupun... Ya, alasan yang aku buat kurang logis untuk hal ini.

*

Sekarang, aku, Tania dan Gavan sedang berada di rumahku, kami semua berencana untuk movie maraton, daripada bosan di rumah mending melakukan kegiatan yang biasanya seorang jomblo lakukan saat malam minggu, itu pendapat Tania. Dan sebenarnya ini hanya rengekan Tania yang memintaku untuk membolehkannya menonton banyaknya film hingga larut (movie maraton), sekaligus menginap di rumahku. Dan setelah aku pikir-pikir, sebaiknya aku mengajak Gavan juga untuk ikut menonton film bareng bersama kami, hanya saja pengecualian untuknya menginap di rumahku, nanti pada jam 10 malam dia sudah harus pulang ke rumahnya. Bukan maksudku mengusirnya, ya. Gavan itu cowok, dan kalian pasti tahu maksudku.

Tadi siang, setelah pulang sekolah aku, Gavan, dan Tania menyempatkan diri untuk mampir ke ZeeNemax untuk membeli beberapa CD film.

Sekitar setengah jam Tania dan Gavan memilih-milih film yang bagus untuk kami tonton, dan juga dengan disertai argumen-argumen kecil, yang malah membuatku... Sedikit terganggu. Aku memilih untuk tetap duduk di sofa dan membaca satu novel yang sempat tertunda untuk kubaca.

Sekarang, indra pendengaranku hanya dipenuhi dengan perdebatan kecil pemilihan film oleh Tania dan Gavan. Dan itu membuatku jengkel. Aku menutup novelku dan meletakkannya di atas meja kecil yang ada di samping sofa yang kini tengah aku duduki. Aku hanya menyaksikan mereka yang terus-menerus berdebat, tanpa berniat untuk melerainya.

"Ish, apaan, sih lo, Gav! Udah napa film ini aja. Nih, Rio 2, filmnya tuh bagus. Tentang burung dan temen-temennya. Nah, kalo film lo? Hih, ngapain banget nonton film horor!" sungut Tania.

"Dih, childish banget tau gak, sih lo?! Nonton film yang bergenre horror lebih seru, menantang! Lah, daripada nonton film lo itu, bosenin dan gak seru!" balas Gavan tak kalah sengit.

"Ya bodo amat, yang penting sekarang nonton Rio 2!" tegas Tania.

Aku bahkan hanya bisa mendengus kesal melihat Gavan dan Tania yang tengah beradu argumen seperti ini.

"Ya udah kali, mending tanya Kalista dulu aja deh. Dia aja dari tadi diem tuh, gak ikutan milih film, emangnya lo! Berisik!"

Dan detik selanjutnya, mereka melihat ke arahku. Aku menaikkan satu alisku. "Kenapa?" tanyaku datar.

"Ini nih, Kal, lo pilih film yang genrenya apa?" tanya Gavan sambil menunjuk ke arah kaset-kaset film yang sudah berserakan.

Aku terdiam. Menimbang-nimbang dan berpikir, film apa yang bagus untuk ditonton. Karena faktanya, aku tidak suka menonton film. Aku lebih suka membaca novel ketimbang menonton film.

Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya aku memutuskan. "Hm... Gimana kalo nonton film yang bergenre thriller? Lebih... Seru, 'kan? Menantang, gitu," kataku. "ini, 'kan movie maraton, jadi otomatis gak cuma satu film doang, 'kan yang bakalan kita tonton. Jadi, mending ganti-gantian aja nonton filmnya. Ber-urutan, gitu." Putusku.

"Nah, ya udah gitu aja biar adil. Sekarang, kita nonton film genre thriller. Terus, abis itu nonton film yang genre horror-punya gue-, nah terakhir, baru nonton film yang diusulin sama Tania, gimana?" Aku mengangguk setuju ketika Gavan membagi-bagi urutan film yang akan kami tonton.

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang