Chapter 26

996 33 0
                                    

Aku menatap mading yang menampilkan lembaran berisikan lomba Matematika. Sebersit perasaan tertarik membumbung di hatiku. Tapi, sebersit perasaan menolak pun hadir begitu saja. Dan kesimpulannya, rasa itu membuatku bingung. Siswa siswi yang mengerubungi mading mulai bercek-cok berdiskusi. Ada pula yang mundur meninggalkan tempat ini dengan teratur karena tidak berminat. Aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Untuk ini, aku akan pikir-pikir lagi. Tapi... Sungguh, aku sangat ingin ikut. Ah, aku benar-benar bingung!

Aku berbalik, dan mataku langsung bersitatap dengan Gavan, yang tengah menampilkan senyum termanisnya. Oh, astaga. Darahku berdesir naik ke wajahku. Bunyi jantung yang berpacu cepat kini terdengar sampai ke telingaku. Dan secara tiba-tiba, aku merasakan canggung yang luar biasa. Sungguh, ini tidak seperti biasanya.

"Hai," sapanya, masih dengan senyum manisnya.

Aku tersenyum kikuk, lantas menjawab, "eh-hai."

"Abis liat apaan? Kok mading rame gini?" tanya Gavan dengan kernyitan di dahinya.

"Itu, diadain lomba Matematika antar sekolah gitu." Jelasku.

Gavan manggut-manggut paham. "Oh, lo gak ikut? Matematika lho, mapel favorit lo, 'kan?" tanya Gavan seraya menatapku penuh tanya. Ah, pertanyaan yang jawabannya tidak ingin kubahas sekarang. Tapi, ini bukan pertanyaan buruk juga, 'kan.

"Mm, itu... Sebenernya, sih mau. Tapi, gimana ya... Masih ra-"

"Kalo lo mau ikut, pasti gak ada kata ragu." Potong Gavan dengan raut serius.

Aku menatapnya tidak percaya. Ini apa? "Tapi-"

"Nggak, Kalista. Gue tau, lo pasti pengen banget ikut lomba Matematika, 'kan? Terus sekarang kenapa ragu? Ada yang salah? Ada yang perlu lo pertimbangin? Apa?" Pertanyaan bertubi-tubi Gavan membuatku bungkam sekarang. Sungguh, aku tidak tahu harus menjelaskannya bagaimana. Aku memang ingin ikut lomba ini, tapi aku juga ragu. Lalu, aku harus memilih ikut atau tidak? Itu pertanyaan final, tapi aku tidak bisa menjawabnya.

Aku menghela napas gusar. "Gavan, ini susah buat gue pilih. Gue masih ragu. Tapi lo tenang aja. Setelah ini, gue akan pikir-pikir dengan matang, oke." Tandasku lalu tersenyum simpul.

Gavan menghela napas sekaligus mengedikkan bahu. "Oke. Tapi gue dukung lo buat ikut lomba Mat. Ke kelas yuk, udah sepi gini mading." Gavan menarik lenganku, berjalan mengikutinya menuju kelas. Aku hanya menurut, dan otakku menampilkan sebuah kata, abu-abu.

*

"Ey, bawa bekel atau makan di kantin?" tanya Gavan seraya menatapku lekat. Aku sungguh bingung harus menjawab apa kalau begini. Tatapannya... Ah, aku ini kenapa, sih sebenarnya?

"Wey, bawa bekel atau makan di kantin nih?" Gavan mengulang pertanyaannya sembari mengibaskan tangan kanannya di depan wajahku.

Aku mengerjap, lalu menggeleng. "Kantin aja."

Gavan mengacungkan jempolnya, lalu bangkit dari duduknya, begitu pula denganku. Gavan menatapku, lalu tersenyum (lagi). Aku menaikkan alisku. "Apa?" tanyaku heran. Gavan menatapku, seolah-olah ia mencari hal yang salah dari wajahku. Tapi, apa?

"Tunggu deh. Kayaknya, ada satu benda yang gak gue liat." Seru Gavan, masih menatapku dengan pandangan meniti.

Aku menautkan kedua alis. "Benda apa?" tanyaku bingung. Aneh.

"Itu... Kacamata lo mana?" tanya Gavan, dengan nada selidik. Aku membeku sekarang. OH, aku lupa! Kacamataku...

"Kalista, kacamata lo mana?" ulang Gavan dengan tegas. Aku memalingkan wajahku dari Gavan ke arah lain. Tidak berani menatap matanya.

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang