Chapter 35

719 24 2
                                    

Setelah menutup buku tulisku, aku langsung merapikan buku dan pulpen kemudian beranjak untuk segera pulang. Tapi, untuk ke-berapa kalinya dari hari-hari kemarin, tangan itu selalu mencekal pergelangan tanganku. Aku menghela napas, kemudian membalik tubuh. "Kenapa?"

Stevian. Nama cowok ini, yang masih mencekal tanganku, segera merekahkan senyumnya. Seperti biasa. Dan itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadapku walau bisa dibilang senyumnya sangat manis dan menggoda iman. Dalam satu gerakan, aku langsung melepaskan cekalan tangannya. Dan itu seperti biasa, lagi.

"Mau langsung pulang, Ta?" Pertanyaan yang selalu dilontarkannya.

Aku hanya mengangguk. Kemudian Stevian merekahkan senyumnya lagi. Hal itu malah membuatku berpikir bahwa cowok ini hanya bisa tersenyum sepanjang waktu, tanpa alasan yang tepat.

"Mau bareng?" tanyanya lagi. Oh, sepertinya aku harus bilang pada kalian semua bahwa pertanyaan-pertanyaan kecil seperti ini memang selalu ia utarakan jika jam pulang.

"Gak usah, gue pulang sendiri." Buru-buru aku menampiknya.

Stevian masih memasang senyumnya lagi. Aku sampai bingung sekarang. "Kenapa? Bareng aja, yuk?" Dan lagi, dia selalu memaksa!

Aku menghela napas gusar. "Gue bilang gue pulang-"

"Oke. Plis, untuk kali ini aja. Mau ya gue anter pulang?" Untuk informasi lagi, ini adalah permintaan pertamanya yang terdapat sanksi tersendiri. Untuk kali ini aja. Itu adalah ucapannya yang pertama kalinya. Dan untuk hari ini.

Melihat raut wajahnya yang begitu ... ah, aku tidak bisa untuk menjelaskannya. Yang pasti, aku tidak enak hati untuk menolaknya. Karena sungguh, walau tidak peduli padanya, aku masih mempunyai hati.

Dan faktanya lagi, jika dilihat dari segi fisiknya, Stevian ini tampan. Dilihat dari rahangnya yang tegas, kulit wajahnya yang bersih serta berwarna agak kecokelatan, alisnya yang tebal serta matanya yang begitu teduh. Rambutnya pun hanya membyar ke bawah, tidak ada embel-embel jambul atau hairflip jaman sekarang. Rambutnya terlihat berantakan tapi bertaruh padaku, rambutnya pasti halus seperti bayi. Itu sangat terlihat dari mudahnya rambutnya berderak. Tapi satu hal yang membuatku mengabaikan semua itu, Stevian bukan Gavan. Bukan Gavan yang bisa membuatku nyaman, senang, juga sedih. Dia hanya seorang manusia yang kujamin hanya akan sementara menetap di hidupku. Tidak berarti apa-apa kecuali dia mau menanggung semua rasa sakit-oh, aku lupa! Garis besar, juga kalau dia memang benar-benar kentara menyukaiku.

"Ta? Kalista?" Dan panggilan itu langsung menyentakku dari lamunan panjangku. Dan bahkan, aku melamun. Melamun yang ujung-ujungnya berpacu pada satu nama; Gavan.

"Eh, maaf. Eum-oke, untuk kali ini aja." Putusku segera. Ternyata! Satu kalimat tak berarti apa-apa bagiku itu mampu membuat senyum Stevian mengembang lebih lebar dari biasanya, mengembang sempurna. Apa keputusanku barusan sangat berpengaruh untuknya?

Setahuku, jika keputusan untuk menyetujui diantar pulang itu sangat berdampak baik pada sang objek, hanya satu fakta yang mampu mengkuak segala hal;

Artinya, Stevian menyukaiku.

Sama seperti pemikiranku tadi.

Dan, artinya, itu sangat tidak baik untukku, untuk dirinya juga.

Karena aku milik Gavan. Dan hatiku hanya untuk Gavan.

Akankah aku mampu dalam waktu dekat ini mematahkan satu hati yang tak bersalah?

***

"Tunggu!" Saat aku ingin keluar dari dalam mobilnya, Vian langsung mencekal lenganku lagi. Aku hampir mendengus keras, namun tetap membalikkan tubuhku dan menatap wajahnya.

"Kenapa lagi, An?" tanyaku, terdengar begitu tertekan oleh makna kesabaran.

Stevian tersenyum ragu, namun setelahnya ia langsung melebarkan senyumnya. "Gue boleh nanya satu hal sama lo?"

Aku menaikkan sebelah alisku. Ragu, aku mengangguk. Cukup penasaran. Tapi aku yakin, ini bukan pertanyaan kecil yang sering kubilang.

"Kenapa lo gak bisa nerima gue?"

Oh, pertanyaan macam it-

Apa?

Apa katanya tadi?

"Maksudnya, gimana?" Karena jujur, aku sama sekali tidak mengerti.

Lagi, lagi, dan lagi! Senyum itu masih terus tertanggal di wajahnya. "Kenapa lo gak bisa nerima gue, ya ... contohnya seperti lo nerima temen-temen lo yang lain, mungkin?"

Aku menghela napas. Saat-saat inilah yang membuatku agak bingung dan risih. Karena satu kali aku melangkah dengan gamblang, tentu saja itu akan menyakiti perasaan yang tak bersalah. "Gue gak punya temen, An."

"Terus, gue apa?"

"Apa lo anggap gue temen?" Ah, aku harus memperjelas. "Maksud gue, lo anggep gue temen seperti lo anggep temen lo yang lain? Ah, bukan berarti apa-apa. Cukup iya, atau bukan."

Stevian melepas cekalannya. Dan aku baru sadar sedari tadi ia masih mencekal tanganku. Stevian menghela napas keras, oh dear, ini pertama kalinya, di hadapanku!

"Kalau misalkan gue gak pernah anggap lo teman, gimana? Kalo gue anggap lo ... lebih dari itu, istimewa. Gue anggap lo lebih istimewa daripada teman ... gimana?" Ini sebuah pengakuan atau pertanyaan yang harus kujawab dan kutegaskan?

Aku memejamkan mataku, kemudian membukanya kembali. Dan kedua ujung bibirku tertarik sedikit ke atas. Tersenyum gamang. "An, kalo kenyataan berkata lain, kita bisa apa? Gue cuma gak mau menyakiti hati yang gak bersalah."

"Lo ngerti maksud gue ya, Ta. Gue kira, lo gak ngerti, hehe. Tapi kalo kenyataan berkata; tanpa lo mau, dengan itu lo udah nyakitin hati yang gak bersalah." Skak mat. Aku bingung harus menjawab apa lagi!

"An, gue ... gue cuma-"

"Sst. Gue ngerti kok, Ta. Jangan dilanjutin, gue gak mau patah hati, Ta." Stevian memotong ucapanku, digantikan dengan perkataannya yang sangat gamblang. Aku tertegun sekaligus merasa bersalah. Gak mau patah hati. Apakah ia tahu kalau apa yang aku katakan nantinya pasti membuat hatinya hancur? Aku hanya ingin mengatakan yang sejujurnya di awal, bukan di akhir yang berakhir keterlambatan atau penyesalan.

"Vian ... maaf,"

Stevian tersenyum, ia menempelkan jari telunjuknya di bibirku. "Gak apa-apa, Ta. Gue ... boleh meluk lo gak? Gue janji, pertama dan terakhir."

Aku menatap manik matanya, entah kenapa, tapi aku seakan terdorong untuk berkata iya. Dan dua detik setelah aku mengangguk, Stevian langsung membawaku ke dalam pelukannya. Aku membalas pelukannya dan memejamkan mata, berusaha mengerti dan berusaha memahami rasa apa yang dirasa cowok yang mendekapku ini.

Ia tidak mengerti.

Ia pantas tahu, tapi aku belum mau mengatakannya.

Aku punya Gavan, tapi aku tidak berani mengatakan nama itu secara eksplisit karena aku takut.

Aku takut karena mimpi itu.

Mimpi itu yang mendatangiku...

Yang berkata bahwa,

Dia akan meninggalkanku.

Dan aku, tidak mengerti.

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang