Chapter 36

704 26 2
                                    

Aku mengetik dengan cepat tugas yang diberikan dosenku dua hari lalu. Begitu fokus sampai aku tidak sadar bahwa kini sekelilingku sudah berserakan buku-buku tebal dan buku panduan. Oh ya, ketika mendaftar, aku memutuskan untuk memakai kacamata lagi. Dan kini kacamataku selalu melorot ke bawah setiap waktunya. Membuatku berhenti mengetik sejenak untuk membenarkan letak kacamataku. Kemudian mulai mengetik cepat agar tugasku cepat selesai.

Selang sepuluh menit berlalu, aku mendengar suara knop pintu yang bergerak ke bawah dan decitan engselnya. Hal itu membuatku berhenti dan menatap ke arah pintu kamarku berada. Oh, ternyata Mama.

Aku menyunggingkan senyum asimetrisku. "Kenapa, Ma?"

Wanita paruh baya itu berjalan menghampiriku kemudian duduk di sampingku. "Ada yang ingin Mama bicarakan."

Keningku tertaut sempurna. Ini tidak seperti biasanya. "Apa?"

Kudengar helaan napas Mama yang begitu bermakna. Makna tersirat yang aku pun bingung ada apa ini. Tapi, satu hal yang aku tahu, ini bukan pertanda baik. Pasti.

"Tentang kamu, Papa kamu, dan Tania."

Sudah tulikah aku? Atau kedengarannya begitu? Atau ... aku memang mendengarnya.

"Ma, apa harus ya kita bicarakan itu lagi? Kalista capek, Ma. Kalista banyak tugas." Kataku, begitu lemah sampai-sampai kini aku menutup laptopku dan menghadap Mamaku sepenuhnya.

"Tapi kita harus selesaikan ini, Sayang. Mama tidak mau berada di lingkaran yang tak berujung ini. Itu tidak baik untuk kamu, Nak. Percaya sama Mama, kamu akan lega setelah ini." Oh, ayolah, aku sudah benar-benar tidak ingin membicarakan itu lagi.

"Mama bilang, yang lalu biarlah berlalu. Tapi ... kenapa sekarang, Ma?" tanyaku lirih.

Mama menghela napasnya, kemudian tersenyum gamang. "Mama tarik ucapan Mama."

"Gak bisa gitu! Mama gak bisa seenaknya narik ucapan yang udah diucapkan. Itu udah berdampak, Ma. Aku udah ingin ngelakuin apa yang Mama bilang! Tapi, kenapa sekarang ...," Pengucapan modalitas apa lagi yang harus aku keluarkan agar tidak membahas masalah ini? Apa? Apa lagi?

"Sayang, Mama ngerti. Tapi Mama gak mau terus berputar di lingkaran tak berujung ini. Harus ada penyelesaiannya. Harus ada yang memotongnya, agar kita terbebas. Kamu ngerti, 'kan?"

Sekarang, menyerah atau ... "Baiklah."

Menyerah. Aku harus hadapi apa pun yang terjadi. Karena sesungguhnya hati kecilku juga menginginkan itu.

"Sekarang, apa, Ma?" tanyaku, benar-benar tidak mengerti.

"Berdamai."

Alisku terangkat sebelah. "Maksudnya apa? Aku sudah berdamai."

"Kalau kamu sudah berdamai, tidak harus menjauh dan menjaga jarak. Berdamai layaknya berdamai yang sesungguhnya." Tukas Mama dengan tajam. Hei, ini pertama kalinya Mama berkata dengan nada tajam padaku!

Kuhela napas gusar. "Ma,"

"Kalista Okalina, ini bukan saat untuk menolak. Tapi harus, Nak. Kamu ngerti, 'kan? Potong lingkaran itu, atau tidak sama sekali."

Aku tidak punya pilihan.

"Aku ... harus gimana?"

"Kalian; kamu, Papamu, dan Tania. Berdamai. Berbaikkan. Dan ulang lembaran baru. Itu satu-satunya cara agar kalian tidak terjebak masa lalu. Kamu harus mau, Kalista. Mama mohon. Mama sudah melakukannya."

"Melakukan apa?" Dengan hati-hati, aku bertanya.

"Mama sudah memutuskan untuk berdamai. Berteman dengan Papamu. Menjaga hubungan dengan baik. Karena kami sadar, kami sudah akan lanjut usia. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Dan sekarang, kamu yang harus berdamai dengan mereka. Hilangkan rasa bencimu terhadap mereka, apa pun yang terjadi. Mereka keluargamu. Kamu mau, 'kan?"

Apa lagi yang harus aku katakan? Terlalu banyak kemungkinan dan keragunan yang bercokol di benakku. Dan itu hanya terus mengendap di dalam jiwaku. Tak akan bisa kujelaskan.

"Oke, Kalista mau. Ini demi kebaikan kita, 'kan, Ma?" putusku, sekaligus bertanya. Dan Mama mengangguk dengan senyum merekahnya. Tapi, senyum itu tak berlangsung lama, berangsur-angsur sirna tergantikan dengan satu tangannya yang tersodor ke arahku.

Dan raut wajah sedih kini tampil di wajahnya. "Sebenarnya, Mama tidak ingin memberikan ini pada kamu. Tapi ... ini amanah dari Papamu. Maafkan Mama, Sayang. Mama hanya menjalankan amanahnya. Kamu ... Mama yakin, dia sayang sama kamu. Tapi, ada hal lain yang membuat semua ini terjadi."

Maksudnya bagaimana dan apa? Aku tidak mengerti! Sama sekali! Semuanya membuatku bingung!

Kalian harus tahu, yang dipegang Mama adalah seperti kartu undangan pernikahan atau pertunangan. Tapi kartu undangan pernikahan dan pertunangan siapa? Papa nikah atau tunangan lagi? Tapi kenapa diberikan padaku? Dengan embel-embel amanah Papa?

"Ini ... maksudnya gimana, Ma?" tanyaku dengan bingung.

Mama tersenyum sedih. "Ini hak kamu, Sayang. Mama tidak bisa berkata apa-apa lagi selain bilang bahwa, Mama yakin dia sangat menyayangimu. Mama ... keluar dulu, ya." Setelah memberikan kartu undangan pernikahan atau pertunangan itu, Mama berjalan keluar dan menutup pintu kamarku.

Dengan segala rasa penasaran, aku membuka kartu undangan tersebut, melihat siapa yang bertunangan. Dan ketika aku membukanya. Tepat tertera dua nama. Dua nama yang langsung membuat dadaku sesak saat ini juga. Jantungku berdentum dengan teramat cepat, juga air mataku yang perlahan-lahan jatuh. Tak terbendung.

Apa maksudnya semua ini?!

Ingin mengajukan perdamaian tapi membuat pengajuan perang lagi?!

Bahkan aku belum bertindak sama sekali!

Detik ini juga.

Aku urungkan niatku untuk berdamai!

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang