Chapter 8

1.5K 40 0
                                    

Hari menjelang malam. Matahari yang bersinar terang kini tergantikan dengan sinar dari rembulan yang redup nan berbinar. Langit yang biru berubah menjadi hitam, satu kata yang dapat kuungkapkan tentang rasaku untuk malam ini adalah sepi. Suasana yang selalu ada di saat aku butuh, yang selalu menemaniku di kala kesunyian datang menghampiriku. Bahkan malam ini aku hanya ditemani dengan suara jangkrik di pekarangan halaman rumahku.

Harusnya malam ini adalah jadwalku dan seluruh keluarga besarku berkumpul di pekarangan rumahku yang luas ini. Harusnya aku yang menempelkan lampion berwarna-warni di sekitar sini. Harusnya Papa yang mengecat ayunan di halaman rumahku ini agar nanti ketika seluruh keluarga atau pun sepupuku datang, kita bisa bermain di ayunan ini. Harusnya masakan Mama sudah tersiapkan dengan rapi di atas meja persegi panjang ini. HARUSNYA. Seharusnya memang begitu sampai kapan pun.

Aku meneteskan setitik air mata dari pelupuk mata kiriku. Setitik lagi menyusul untuk ikut merosot mengikuti air mataku sebelumnya. Setetes lagi, lagi, dan lagi yang sebelumnya hanya ada satu butir air mata kini seperti air yang terus mengalir bak air terjun. “Aku menangis? Hah? Menangis?” Aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku menangis? Terlalu bodoh menurutku kalau aku harus menangis atau menyesali perbuatan yang tidakk akan pernah untuk kembali lagi. Kenangan yang tidak akan pernah untuk terulang lagi.

Ini menyebalkan, ya? Aku tersenyum miris terhadap diriku sendiri.

Aku menghapus air mataku dan memejamkan mataku untuk beberapa detik. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, menikmati sensasi hembusan napas yang kulakukan. Saat aku menarik napas, rasanya itu terlalu berat. Dan saat aku menghembuskannya, rasanya itu terlalu ringan. Dan aku menyukainya.

Aku merasakan derap langkah kaki seseorang, aku berbalik untuk melihat orang itu. Dan tepat sesuai yang aku pikirkan, itu Mama.

"Sayang, kamu ngapain malam-malam begini ada di sini?" tanya Mama dengan suara lembutnya.

Mama duduk di sampingku. "Cuma mau cari angin aja kok, Ma," jawabku.

"Tapi ini sudah malam, nanti kamu bisa sakit, lho. Angin malam gak bagus untuk kesehatan. Masuk, gih," suruh Mama.

"Hm... 5 menit lagi deh, Ma," pintaku.

"Hh. Ya udah iya." kata Mama. Dan sedetik kemudian, keadaan pun menjadi hening.

"Kalista," panggil Mama yang langsung membuatku menoleh kearahnya.

"Apa, Ma?"

"Hm... kalau ada yang ingin kamu ceritain, cerita aja ya sayang. Mama mau kok dengerin cerita kamu, apa pun itu," kata Mama.

Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang barusan Mama katakan. Sedetik kemudian aku tersenyum saat menyadari arah pembicaraan Mama. "Iya, Ma. Lista pasti cerita kok, tenang aja hehe," jawabku sambil terkekeh pelan.

"Kal, kamu... habis nangis, ya?" tanya Mama, tiba-tiba.

Aku terdiam lagi untuk beberapa saat. "Eh? ng-nggak, kok, Lista gak habis nangis, kok, Ma," jawabku, berbohong. Maaf, Ma.

"Beneran?" tanya Mama lagi. Aku mengangguk dengan pasti. "Oke, kalau gitu kita masuk, yuk." Aku mengangguk. Dan kami pun beranjak masuk ke dalam rumah.

*

Bunyi jam beker menyeruak di pendengaranku. Aku mengerjapkan mataku. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Aku menatap kaca besar dan melihat pantulan wajahku yang terpampang di kaca besar ini. Sangatlah menyedihkan dengan kantung mata yang melingkari bagian bawah mataku serta mata yang terlihat sembab dan hidung yang memerah. Tanpa basa-basi lagi aku langsung mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu aku melakukan rutinitasku seperti biasanya.

30 menit berlalu, aku udah siap dengan semua penampilanku. Kacamata yang selalu bertengger manis di hidungku, rambut yang selalu dikuncir kuda dan tidak lupa aku membawa beberapa novel yang telah kumasukan ke dalam tasku.

Aku mendengar bunyi klakson mobil dari arah luar, dan itu agak membuatku terjengat kaget. "Ada apaan, sih pagi-pagi udah berisik banget." Gerutuku kesal lalu aku berjalan ke luar rumah sambil memakan sarapanku-roti tawar berlapis selai cokelat. Sampai di depan pagar aku melihat seorang cowok yang tengah duduk di kap mobilnya. Tidak lain dan tidak bukan, dia adalah Gavan.

Gavan tersenyum ke arahku. "Ayo masuk mobil gue, ntar telat," aku membuang muka darinya serta berjalan kaki menuju ke arah halte tempat di mana aku biasa dapat menggunakan transportasi untuk ke sekolah. "Eh! Gue udah jemput lo pagi-pagi gini seenggaknya lo hargai dong,"

Aku berbalik dan menatapnya dengan datar. "Gue nggak nyuruh lo buat jemput gue." Setelah itu aku berbalik lagi dan hendak meneruskan perjalananku menuju halte. Aku berhenti ketika merasakan lengan kananku dicekal.

"Please ikut gue, lo 'kan kemaren udah setuju buat gue jemput," katanya. Aku tetap tak mengiyakan ajakannya. Dan yang aku tahu sekarang aku telah berada di dalam mobilnya dan duduk dengan manis di sampingnya.

Memang gila anak ini. Aku berdehem untuk menetralkan suasana. "Apaan, sih lo, pake acara jemput gue dan ngapain juga lo mau deket sama cewek aneh kayak gue, sih? Atau lo—" aku menatapnya dengan tajam, “Lo punya maksud tertentu? Karena itu lo ngedeketin gue?" Sehabis aku melontaran kata terakhirku Gavan malah tertawa dengan gelinya. "Apaan sih? Nggak banget deh lo. Gue nanya bener-bener, tapi lo-nya malah ketawa gak jelas gitu!" sungutku kesal.

Gavan menepikan mobilnya dan setelah itu dia menatapku. Tatapannya tidak bisa kuartikan. “Lo tau gue kayak gini karena emang ada maksud tertentu sama lo,” katanya sambil tersenyum dan kembali lagi ke posisi semula dan Gavan mulai menyetir lagi.

Kemudian kalimat darinya terputar terus menerus di otakku. Seperti kaset rusak yang terus terputar sehingga menghasilkan hasil yang buruk.

Maksud tertentu apa, sih?

Tanpa mempedulikan pikiran yang tidak-tidak, aku menikmati jalan menuju sekolah dengan tenang.

Sesampainya di sekolah, aku langsung membuka pintu mobil dan pergi ke luar tanpa mempedulikan Gavan yang memanggil namaku.

"Eh, lo cepet banget, sih jalan nya!" sungut Gavan. Aku tidak berniat menjawab pertanyaannya dan tetap berjalan tanpa menghiraukannya "Eh muka lo kenapa? Lo semalem nggak tidur, ya?" tanyanya.

Aku berhenti dan menatapnya. "Mau gue tidur atau pun gak, itu bukan urusan lo! Dan soal masalah yang kemaren. Asal lo tau aja, tanpa bantuan lo pun gue bisa berdebat sama Ardi tanpa dibantu sama lo! Jadi gue minta setelah ini lo gak usah sok nolongin gue lagi karena gue gak mau bales lo dengan apa-apa!" gertakku kemudian pergi meninggalkannya.

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang