Epilog

1.2K 48 16
                                    

Tepat hari ini, pertunangan antara Gavan dan Tania dilaksanakan. Aku bersiap-siap, karena acaranya adalah jam tujuh malam. Sedangkan sekarang sudah tinggal empat puluh lima menit lagi sebelum acara dimulai. Aku bersiap serapi mungkin. Kalian ingin tahu? Aku tidak akan melakukan itu seperti di ftv kebanyakan. Aku hanya datang dan menyaksikan, tidak akan berbuat apa-apa, dan tidak akan berbuat kekacauan. Seperti orang gila yang mengacaukan acara besar di tengah-tengah banyaknya manusia. Oh, aku masih menjaga harga diriku.

Tepat empat puluh menit lagi, aku harus berangkat sekarang. Menggunakan taksi bersama Mama.

Ketika di taksi, Mama menggenggam tanganku. Ia menatapku dalam remangnya cahaya di dalam mobil, sembari menyunggingkan senyum tulus keibuannya. "Apa pun yang terjadi, kamu harus siap, Sayang. Mama tau, kamu kuat."

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Karena aku tidak akan pernah tahu, apa yang akan terjadi nanti. Semoga, semuanya berjalan begitu saja.

Aku berdoa dalam hati ketika taksi yang kutumpangi sudah berhenti di hotel ternama di Jakarta. Aku dan Mama keluar ketika membayar administrasi. Dalam langkahku, aku terus menggumamkan doa. Karena jujur, aku sangat gugup. Jantungku terus memompa dengan ritme yang cepat. Bayang-bayang perkiraan apa saja yang akan terjadi nanti, seperti hantu tidur yang menyeramkan. Yang membuatku takut serta gugup. Sekuat tenaga, aku harus melawan rasa gugup dan gemetar ini. Ini adalah penentuan akhir.

Mama terus menggenggam tanganku yang mulai dingin karena rasa gugup. Aku memasuki ball room hotel. Dekorasinya sangat memukau. Sangat indah dan sangat mewah. Berkesan glamour karena banyaknya kemerlap-kemerlip yang terlihat. Aku menyapu seluruh penjuru ball room ini. Lantas tersenyum kecut. Sayang sekali, kalau acara ini sampai gagal.

Aku dan Mama duduk di dua bangku di deretan baris ketiga dari depan. Ball room ini sudah disesaki oleh para tamu undangan. Pastinya banyak sekali kerabat kerja Papa dan Ayah Gavan. Terlihat dari wajah mereka, seperti orang kantoran. Orang-orang yang berdatangan ke sini memakai pakaian yang begitu glamour juga. Oh, itu tentunya. Karena acara ini memiliki dress code. Hah, seperti pesta untuk semua orang saja.

Dari balik pilar besar persis di arah sebelah kananku, tiga orang paruh baya keluar dengan anggun dan gagahnya. Jantungku berpacu semakin cepat. Darahku berdesir cepat, membuatku tidak bisa berkutik normal. Satu wanita dan dua pria. Mereka berjalan seakan-akan mereka adalah seseorang yang telah memenangkan sesuatu dengan kerja keras mati-matian. Tante Viska terlihat sangat anggun dengan long dress merah yang terdapat renda-renda kilau di bagian bawahnya. Serta sang suami-aku sangat yakin, itu adalah ayah Gavan-sangat terlihat gagah dengan tuxedonya. Dan di samping itu, aku melihat Papa yang berjalan santai seolah tidak memiliki beban apa pun, dengan tuxedonya. Riuh tepuk tangan menggema kala mereka berjalan ke atas panggung. Sedikit bersapa ria, kemudian turun kembali. Aku semakin ciut sekarang. Mereka ... terlalu berharga untuk dikecewakan.

Genggaman Mama menguat. Ia mendekat kemudian berbisik, "hadapi, Kalista. Jangan seperti ini." Sepertinya, Mama mengerti perasaanku. Berangsur-angsur senyumku timbul. Hadapi. Itu yang menjadi tekadku untuk tetap datang. Ya, aku harus hadapi ini.

Tiba-tiba saja, riuh tepuk tangan terdengar lagi. Tapi kali ini, semakin menggema dan keras daripada tadi. Aku celingukan, mencari sumber yang membuat para manusia di sini bertepuk tangan. Dan tepat arah jarum jam satu, aku menangkap dua figur yang saling bersisian. Wajahku terasa pias kala melihat mereka. Dan mereka adalah sumber riuhnya tepuk tangan. Dadaku sesak. Sangat sesak. Kontan, aku lupa caranya bernapas dengan benar untuk kesekian kalinya.

Tania, menggamit lengan Gavan dengan pas.

Tania sangat cantik dengan dress putih tulang yang mewah.

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang