Chapter 37

732 28 9
                                    

Aku mendapat kabar. Kabar yang ... entahlah, itu membuatku senang atau pun sedih aku tidak tahu. Hari ini. Tepat jam dua siang nanti. Kabar itu akan terbukti. Seharusnya, aku senang. Tapi, sepertinya rasa itu kurang benar-benar mendominasi perasaanku saat ini.

Aku beranjak dari dudukku, kemudian berjalan ke balkon. Saat aku membuka pintu, satu figur di sebrang sanalah yang pertama kali aku lihat. Aku tersenyum tipis, kemudian semakin melebarkan bukaan pintu, berjalan mendekat ke arah pembatas besi.

"Hai, Kalista." Sapanya, begitu ramah dan hangat di pendengaranku.

"Hai, Nathan! Apa kabar? Kamu ... jarang kelihatan." Balasku, mengutarakan isi hatiku tentang keberadaannya.

Ucapanku membuat senyum manis Nathan terkembang. Tapi tidak seperti biasanya. Terkesan ... tidak ingin tersenyum, tetapi harus.

"There's a problem, why I appear now, Kalista." Jawabnya. Dan itu sama seperti dulu aku menanyakannya.

Aku terkekeh pelan, lantas bertanya, "apa masalahnya? Kamu bisa ... cerita?"

Nathan menghela napasnya. Cowok itu, dengan kaos abu-abu polos juga celana denim levis selututnya, masih terkesan manis walau berbeda jenis penampilan. "Kamu tidak perlu tahu. Ya, aku rasa begitu."

Dua kalimat pendek itu membuatku bungkam, tidak mengerti. Kenapa tidak boleh tahu? "Tapi, kenapa?" tanyaku begitu lirih. Penuh makna dan penekanan.

"Bukan saatnya."

"Tapi kamu selalu bilang begitu, Nathan! Terus, kapan?" protesku, kesal.

"Nanti, Kalista. Tidak sekarang." Jawabnya lirih, juga terdapat ketegasan dalam perkataannya.

Aku memejamkan mataku, meredam seluruh emosi yang tiba-tiba memberondongku. "Kamu selalu bilang tidak sekarang,"

"Lalu ... kapan? Kapan kamu cerita? Nunggu aku pergi? Nunggu aku mati? Baru kamu mau cerita?" tanyaku, lebih seperti menghardiknya.

Nathan menyesal. Terlihat dari raut wajahnya yang mengatakan begitu. "Bukan begitu, Kalista. Aku ... belum bisa menjelaskan."

"Terserah." Putusku final.

"Tapi kamu selalu berkata begitu dan mungkin, seterusnya begitu. Dan aku hanya menjadi Pengharap yang Tak Berujung. Itu terdengar lebih bagus, ya, 'kan?" kataku, sarkastik.

Nathan menghela napasnya lagi, lalu menyugar rambutnya. "Kamu memaksa."

"Memang aku memaksa! Kamu pikir apa lagi kalau bukan memaksa?" tanyaku, terdengar kesal.

"Kalista, kumohon. Tidak sekarang." Pintanya, begitu memelas. Tapi, aku tetap tidak peduli! Aku selalu bercerita apa pun, tapi dia? Hah. Apa yang dia ceritakan kecuali sebuah kata-kata penenenang untukku yang ... entahlah, aku sudah lelah menjelaskan.

"Terserah aja, Nathan. Tapi ingat, aku selalu bercerita apa pun, tapi kamu ... kamu pikir aja sendiri. Aku capek banget hari ini, aku masuk dulu."

"Tunggu, Kalista!" cegahnya, dengan volume suara yang naik satu oktaf.

Aku berhenti berjalan masuk ke dalam, lantas berbalik. "Apa?"

"Kamu terlalu ... itu sabotase sekali kedengarannya. Seperti pamrih." Katanya, dengan raut wajah ragu. Aku menghela kesal.

"Terserah, Nathan, TERSERAH! Aku bilang aku capek!" koorku, sangat kesal.

Sebelum benar-benar masuk ke dalam, Nathan bersuara lantang, "satu yang harus kamu tau; aku selalu menanti waktu yang pas untuk cerita tentangku, padamu. Tapi penantianku, belum berhenti. Kamu hanya harus menunggu, sampai aku berhenti menanti."

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang