Chapter 38

769 33 5
                                    

Aku memandang lesu setiap kalimat yang ada di hadapanku. Aku hanya membaca, tidak memahami. Seperti orang yang tidak punya semangat belajar. Ini bukan tipeku, tapi sekarang, sudah berbeda. Orang yang duduk di bangku belakangku, menepuk bahuku pelan. Dengan malas, aku menoleh ke belakang.

"Kenapa, An?" Ya, orang yang duduk di bangku belakangku adalah Stevian.

"Lo kenapa?" tanyanya, penuh perhatian.

Aku tersenyum simpul. "Gak apa-apa."

"Muka lo pucet. Ada yang udah terjadi?" tanyanya lagi, semakin penasaran.

Aku mendengus gusar, mencoba sabar. Karena yang kuingin sebenarnya adalah tidak diganggu. Aku hanya sedang sensitif sekarang. "Cuma gak enak badan, kok."

"Serius? Apa lo demam?" tanyanya lagi. Tapi kali ini, Stevian menaruh punggung tangannya di dahiku. Ia mengerut. "Lo demam. Buktinya panas, tuh. Ke klinik aja, yuk?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak, An. Udah ya, gue mau baca dulu."

Stevian menghela napasnya, tapi kemudian ia mengembangkan senyumnya, seperti biasa. "Lo seperti menghindar. Gue gak suka. Kita bisa jadi teman, Ta. Lo gak perlu menghindar karena perasaan yang gue punya."

Aku mengerut bingung, kemudian mendengus pelan, tahu akan arah pembicaraan ini. Aku berusaha tersenyum. "Gak gitu, An. Gue gak menghindar. Tapi kali ini, gue lagi butuh waktu untuk gak diganggu. Tapi lo bakalan jadi temen gue, bukan orang asing yang gue hindari, Stevian."

Dan senyum cerah itu, terpampang nyata di wajah tampan Stevian. Aku hanya tersenyum simpul dan kembali menormalkan posisiku.

*

"Kalista! Lo udah cari bahan buat presentasi?" tanya Rora, teman sekelas mata kuliahku kali ini.

"Belum tau, Ro, masih nyari. Lo sendiri?"

"Jadi, katanya bisa berdua atau bertiga orang, bukan individu. Gimana kalo berdua?" Ajakan Rora, tanpa tedeng aling-aling aku setujui begitu saja. Karena aku pikir, kondisiku kali ini tidak memungkinkan untuk teliti. Dengan bantuan Rora, pasti lebih mudah daripada aku sendiri.

"Oke, Ro. Kalo gitu, gue duluan, ya." Pamitku.

"Sip. Tapi, btw, muka lo pucet lho, Kal." Katanya, sambil meniti wajahku lekat.

Aku tersenyum tipis. "Cuma gak enak badan doang kok, Ro. Makanya sekarang gue langsung mau pulang, mau istirahat."

"Hm, oke. Cepet sembuh deh, ya!" Aku mengangguk, kemudian berjalan keluar.

*

Aku meminum obatku setelah makan tadi. Akhir-akhir ini, efek penyakitku sering kambuh. Padahal, sudah lama sekali aku merasa bahwa aku tidak pernah punya penyakit apa-apa. Tapi sekarang, efek itu datang lagi. Menghantuiku, seperti dulu. Susah tidur dan sesak napas. Hah. Aku capek sebenarnya menanggung ini semua. Tapi, hidup akan terus berjalan, apa pun yang terjadi. Maka dari itu, aku masih bertahan. Bukan hanya itu, ini semua demi Mamaku juga.

Kuhela napas panjang, kemudian membuka binder yang sudah lama sekali tidak kusentuh lagi. Dan itu masih tertera rapi di pojok meja belajarku. Aku tersenyum asimetris, kemudian mengambil binder itu. Duduk bersila di kasur dan mulai membukanya. Halaman pertama, curhatanku tentang foto bersama Mama Papa kala liburan, di taman belakang rumahku. Aku tersenyum sedih. Kemudian membaca captionnya dalam hati.

Hari ini, hari yang tidak akan pernah gue lupain.

Liburan.

Moment yang paling berseri.

Karena Mama, Papa, dan gue, bisa menghabiskan waktu bersama, walau hanya bertiga. Tapi kami bahagia.

IW: semoga terus seperti ini, aamiin.

Kemudian aku beralih ke halaman kedua. Berisi fotoku dan ... Berty. Aku menahan sesak di dadaku. Tapi jujur, melihat ini, aku seperi diputar ke masa lalu. Aku membaca captionnya lagi.

Kami sama-sama bahagia. Karena gue sama Berty bisa satu kelas, satu peranan.

Model.

Gue bener-bener seneng.

Lalu, aku beralih ke halaman ketiga. Terpampang nyata sebuah curahan hatiku. Bukan lagi dan tak ada lagi foto seperti halaman sebelumnya.

Sabtu, 12-5-2012

Perasaan ini. Sesak yang tak terkira. Sakit yang tak terkira. Gue capek. Capek denger Mama sama Papa ribut mulu. Gue pengen mereka gak ribut lagi. Tapi gue gak tau caranya. Kalau mereka ribut, gue seperti angin lalu yang tak pernah mereka acuhkan. Gue seperti, gak penting. Makanya gue berhenti. Gue cuma bisa mendengarkan dan merasakan sakitnya. Mereka gak pernah ngerti dan peduli. Sekali lagi, gue capek. Gue pengen ini berhenti. Sampai di sini.

Air mataku meluncur jatuh. Aku memejamkan mataku, meredam segalanya yang terasa di hati. Aku meremas dadaku, agar tidak sesesak ini. Nyeri itu ternyata masih ada. Masih sangat membekas. Dan aku belum sanggup menghapus rasa sakit itu.

Aku membalik halaman keempat, dan tidak ada apa-apa di sana. Hanya kertas kosong oleh garis-garis untuk tempat menuliskan kata-kata. Ternyata, aku jarang menulis diary. Aku membuka halaman kelima, dan hasilnya tetap, masih kosong. Iseng, aku membuka halaman selanjutnya, dan di situ, terpampang foto serta nama seseorang. Dan rasa sesak itu semakin menjadi. Semakin kuat membelenggu relung hatiku.

Gavan Aditya Azalla.

Di saat ini, 6 Februari 2013. Gue, resmi jadian sama Gavan :D

Mau tau gak? Gak ada hal lain lagi di hari ini kecuali pernyataan cintanya. Yang dari awalnya, cuma sebuah harapan-harapan yang berakhir penjatuhan. Tapi sekarang, semuanya nyata. Dan kita resmi jadian! Tapi ada satu hal yang buat gue sedih, yaitu kepergiannya ke Aussie nanti :(
Tapi gapapa, yang penting, gue udah tau perasaan Gavan. Dan kita punya perasaan yang sama. Itu udah lebih dari cukup bagi gue. Gue bahagia, dia bahagia, kita bahagia. Dan gue sangat-sangat berharap hubungan ini akan berumur panjang sampai akhir hayat memisahkan. Aamiin. Gue janji, gue akan mempertahankan hubungan ini. Apa pun keadaannya. Dengan cara gue sendiri. Karena gue, Kalista Okalina, sayang sama Gavan Aditya Azalla.

-With love,
Kalista.

Air mataku tak mampu kubendung lagi. Aku terisak pilu. Sesak semakin berangsur-angsur melekat dalam rongga dadaku. Aku yang salah. Aku berjanji, tapi aku mengingkarinya. Dan kenyataannya, hubungan kita, hanya sampai di sini. Tidak pernah sampai akhir hayat. Semuanya hanya mimpi semu yang tidak pernah menjadi nyata.

Yang jelas, aku pengingkar janji. Aku ingkar. Aku yang mengakhiri hubungan ini. Aku yang salah.

Jika aku punya kesempatan...

Ragukah aku mengambilnya?

Kesempatan kedua, yang jarang sekali datang.

Tapi aku yakin, aku masih punya kesempatan untuk tidak mengingkari janjiku.

Dengan keyakinan, aku yakin, seyakin-yakinnya.

Dan, semoga ini tidak mengecewakan.

Gue janji, gue akan mempertahankan hubungan ini. Apa pun keadaannya. Dengan cara gue sendiri. Karena gue, Kalista Okalina, sayang sama Gavan Aditya Azalla.

***

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang