Chapter 11

1.3K 26 0
                                    

Aku terbangun ketika suara nyaring dari jam bekerku berbunyi. Mengumpulkan nyawa terlebih dahulu, setelahnya aku langsung beranjak untuk mandi.

10 menit aku mandi, aku langsung memakai seragam lengkap dan merapikan semuanya yang sudah seharusnya kurapikan. Aku mengambil tasku dan menyampirkannya di bahu sebelah kanan, dan tidak lupa aku juga memakai sepatu dan kacamata yang selalu menemaniku.

Sesampainya di bawah aku sudah melihat punggung seseorang yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Merasa penasaran, aku pun menghampiri orang itu.

"Eh, lo udah rapi?" tanya orang itu, ketika melihatku yang kini berada di hadapannya. Kalian pasti tahu, 'kan, orang itu siapa?

"Udah," jawabku. "Lo mau ikut sarapan juga gak?"

"Hm... boleh deh." balasnya dan aku hanya mengangguk, lalu berjalan menuju meja makan dengan diikuti Gavan yang berada di belakangku.

Kami sarapan dalam diam dan setelah sarapan, aku dan Gavan pamit ke Mama untuk berangkat sekolah.

"Kal," panggil Gavan yang kini tengah mengendarai mobilnya. Ya, kali ini Gavan bawa mobilnya, dan entah apa alasannya, dia susah ditebak.

"Apa?"

"Hm... kalo boleh tau, bokap lo ke mana?" tanya Gavan dengan nada yang terdengar hati-hati.

Aku tersenyum miris. "Ada kok," jawabku, dan aku bingung dengan jawabanku sendiri. Bingung, apakah aku menjawab bohong atau tidak? Kalian pasti ngerti.

"Kerja?" tanya Gavan lagi. Aku mengangkat kedua bahuku dan menatapnya yang kini masih fokus dengan kemudinya, tapi sesekali menoleh ke arahku.

"Gak tau, dan kayaknya gue gak akan pernah tau." Jawabku seadanya.

Lampu merah, dan Gavan menatapku cepat dengan satu alis yang terangkat, dan aku hanya tersenyum tipis. "Maksud lo apa?"

"Gav, gue--"

Gavan memotong ucapanku. "Cerita aja kalo itu emang perlu diceritain, gue janji gak akan kasih tau siapa-siapa, dan itu gak akan mungkin banget gue lakuin. Lo boleh cerita apa pun ke gue, kalo itu emang perlu buat diceritain," jelas Gavan dan itu membuat hatiku sedikit lega. Aku mengangguk. "Ya udah cerita," suruh Gavan. Dia selalu tahu apa yang aku rasakan, tapi terkadang, aku selalu bingung dan susah menebak dengan apa yang dia rasakan.

Lampu merah berganti kuning, dan lampu kuning kini sudah berganti hijau. Gavan mulai melajukan mobilnya kembali. Aku masih terdiam dan akhirnya aku pun membuka suara. "Nanti aja," jawabku.

"Gimana kalo nanti pas pulang sekolah? Di kafe deket sekolah yang baru dibuka itu?" usul Gavan. Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya aku mengangguk dengan ragu.

"Udah sampe," ujar Gavan. Aku melihat ke arah jalanan lewat kaca mobil Gavan. Dan benar saja, kini aku dan Gavan sudah berada di area parkir sekolah.

"Kenapa? Ngerasa cepet banget nyampenya? Makanya dari tadi jangan ngelamun aja," celetuk Gavan yang seakan-akan tahu isi pikiranku. Aku hanya mengedikkan bahu dan keluar dari mobil Gavan, begitu pun juga dengan Gavan.

"Ayo, silahkan jalan duluan, Tuan Putri," sahut Gavan. Aku melirik tajam. Kemudian Gavan menarik lengan kananku dan berjalan dengan langkah lebar-lebar, dan itu membuatku kesulitan untuk berjalan dengan normal.

"Gav, pelan-pelan dong, gue gak bisa jalan nih!" gerutu ku dengan kesal, kemudian Gavan pun mengehentikan jalannya. Aku memberengut kesal. Semua tatapan anak-anak IPA yang ada dikoridor, menuju kearah ku dan Gavan. Tapi aku tidak mengacuhkannya, sedangkan Gavan tetap dengan gaya coolnya. Sok cool.

Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang