"Ini apa?"
Seungcheol mengerjap, menatap bingkai foto di dekat tangga yang ditunjuk Jeonghan. Bingkai berukuran dua kali satu meter itu memampangkan foto studionya bersama Jeonghan yang tengah berpelukan mesra.
"Itu foto studio kita?"
Jawaban itu tak menyudahi tatapan sangar yang Jeonghan tunjukkan. "Sejak kapan kau memajangnya?"
"Sejak aku pulang tadi. Kau tidak sadar?"
Bagaimana mungkin Jeonghan menyadarinya? Perhatiannya teralihkan dari sekitar karena rasa sakit akibat terjatuh, ditambah lagi rasa gugup karena Seungcheol menggendongnya. "Cepat turunkan!"
"Kenapa? Foto ini bagus. Lihat, hasilnya sangat halus tanpa cela."
"Memalukan! Ayo cepat turunkan!" desak Jeonghan tak sabar.
Desakan itu malah mengurai senyum lembut di bibir Seungcheol. Sejujurnya dia merasa lega karena kecemasannya tidak terjadi. Dia sempat berpikir Jeonghan akan menyinggung soal masa lalu mereka dan menuduhnya berbohong. Kini dia malah bersyukur diomeli. "Sebaiknya kita tidur cepat. Besok kau harus bangun pagi untuk bekerja, dan kakimu juga harus diistirahatkan."
Melihat Seungcheol tidak menggubris ucapannya dan malah beranjak pergi, Jeonghan segera mengejarnya dengan langkah tertatih. "Hei, turunkan dulu fotonya!"
Langkah mereka terhenti ketika Seungcheol mencapai pintu kamarnya. Dia berbalik menatap Jeonghan yang mengekornya di belakang. "Kau mau tidur bersamaku?"
Menyadari saat itu dirinya tampak seperti hendak masuk ke dalam kamar yang sama, Jeonghan buru-buru beringsut mundur. "Tidak! Pokoknya kuperingatkan, besok turunkan foto itu!"
Seungcheol meringis mengamati Jeonghan menyeret kakinya pergi dengan susah payah. Setelah memastikan Jeonghan masuk ke dalam kamarnya, dia pun menutup pintu kamarnya sendiri, lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Seungcheol mengamati ponsel itu sejenak, sebelum menghubungi nomor seseorang sembari memancarkan keseriusan besar di wajahnya. "Halo, Jihoon? Bisa kita bertemu besok?"
=======
Tampaknya Jeonghan harus membuat perhitungan kembali dengan pemilik rumah yang ditinggalinya itu. Karena peringatannya, lagi-lagi, ditanggapi seperti lelucon.
Pagi itu dia berdiri geram di depan tangga, menyaksikan bingkai foto yang sama, di posisi yang sama, tidak menampakkan perubahan signifikan. Kecuali satu, yaitu foto yang terpajang serupa dengan yang kemarin, hanya berbeda pose. Meski telah diganti, foto yang baru tetap saja menampilkan kemesraan layaknya pasangan yang saling mencintai. Malah yang kali ini lebih parah, karena foto itu menampakkan dirinya memegang wajah Seungcheol.
Jeonghan berangkat menuju kantornya disertai perasaan kesal. Sayang sekali pagi itu batang hidung sang pelaku penyebab kekesalannya sudah tidak tampak. Dia berjanji setelah pulang nanti dia akan menyidang Choi Seungcheol dan membuatnya mencopot bingkai foto itu.
Mengapa dia begitu bersikeras perkara sebuah foto? Alasannya, karena potret itu seperti mengesankan bahwa pernikahan mereka tidak lagi hanya sebatas kontrak, melainkan sungguhan. Foto bagaikan bukti, bukti bahwa rumah itu adalah tempat mereka hidup sebagai pasangan. Dan hal itu menakutkan bagi Jeonghan, karena dia tidak ingin orang lain mendesaknya dengan tuduhan yang sama seperti yang Wonwoo berikan: bahwa dia telah menyukai Choi Seungcheol dan menerimanya sebagai suami.
Jeonghan menepis pikiran itu sambil memasuki gedung kantornya. Ketika mencapai ruang kerjanya, tampak kehadiran Wonwoo yang sudah menanti dengan kabar baik. "Kak, akhirnya kau tiba! Barusan client kita menelepon. Mereka bilang mereka sangat senang dengan hasil kerja kita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Long Time Admirer
Roman d'amourKekalahan dalam persaingan bisnis membuat Yoon Jeonghan harus menikahi Choi Seungcheol, pria yang sepuluh tahun lalu pernah menyatakan cinta padanya, yang juga ditolaknya dengan keji. Dendam yang lama bersarang dalam hati Seungcheol menjadikan perni...