Ketika terancam maut, yang Jeonghan harapkan hanya satu: dia ingin bertemu Seungcheol. Dia berjanji tak akan bersikap egois, tak akan memaksakan kehendaknya, dan tak akan lagi mengungkit soal perceraian. Itu janjinya pada Tuhan.
Tapi apa yang didengarnya barusan menyadarkannya akan realita pahit. Kini dia hanya mampu bergeming bagai sebongkah patung seraya memandangi surat perceraian yang Seungcheol tunjukkan. Pikirannya berusaha keras menalar apa yang terjadi. Seungcheol baru saja mengklaim bahwa surat itu sudah ditandatangani. Pria itu sama sekali tak menunjukkan gurat canda di wajahnya. Itu artinya dia menyetujui apa yang tertulis di sana. Itu artinya...
"Jeonghan?" suara Seungcheol bahkan redam di pendengarannya. Pandangannya perlahan memudar. Memorinya akan foto Seungcheol memeluk Eunjung yang dilihatnya di ponsel Dongguk kembali terlintas. Ternyata benar, Choi Seungcheol memang tidak mencintainya. Dia lebih memilih bercerai daripada harus kehilangan sang mantan kekasih. Ternyata selama ini dialah yang terlalu percaya diri mengira Seungcheol akan memilihnya dan memercayai kata-kata manis pria itu.
Rasa kecewa, marah, dan sakit hati, bercampur aduk dalam benaknya. Tak ingin berlama-lama di sana, dia segera menyambar surat itu dan bangkit berdiri. Namun upayanya untuk kabur berujung percuma karena Seungcheol dengan gesit memegang tangannya. "Kau mau ke mana?"
Jeonghan berusaha melepas cengkeraman tangan Seungcheol, namun sia-sia. Pria itu tak menunjukkan sedikitpun niat untuk membebaskannya.
"Jeonghan," suara lembut Seungcheol semakin saja mengguncang pertahanan dirinya. Namun sekuat apapun memberontak, kedua pergelangan tangannya dicekal kuat hingga tak bisa berkutik. Akhirnya dia menyerah karena kehabisan tenaga.
Melihat pria di hadapannya mulai tenang, Seungcheol perlahan mengendurkan cengkeraman tangannya. "Kenapa kau lari?"
Jeonghan sadar tak ada lagi cara untuk mengelak. Dia menggertakkan giginya. "Kenapa...kau menandatangani surat itu?"
Pertanyaan itu menghadirkan sunyi. Lama Seungcheol melekatkan pandangannya pada Jeonghan yang masih tertunduk.
"Karena kau memintaku."
Jawaban itu membuat nafas Jeonghan tertahan. Dia semakin menundukkan kepalanya.
"Jadi... kau memang ingin cerai dariku?"
"Tidak."
"Lalu kenapa?!" Jeonghan menghardik keras. Meski saat itu pipinya bersimbah air mata, dia tak lagi peduli. "Kenapa kau menandatanganinya jika tak ingin bercerai dariku?!"
Seungcheol tertegun menyaksikan air mata mengaliri wajah Jeonghan. Dirematnya pelan tangan gemetar Jeonghan, "Kau pernah bilang bahwa aku harus mengabulkan satu permintaanmu. Bahwa aku harus menepati janjiku. Karena itu aku menandatanganinya."
Pengakuan itu membungkam Jeonghan. Memang benar dirinya yang sejak awal menghendaki perceraian. Namun itu dulu, sekarang dia bahkan tak mau memikirkannya lagi. Hanya saja, dia tak pernah mengaku dan selalu memendamnya seorang diri.
Melihat diamnya sang lawan bicara, Seungcheol memberanikan diri. Satu tangannya dia gunakan untuk menyentuh pipi basah Jeonghan. "Tapi kenapa kau menangis? Bukankah ini yang kau inginkan?"
Mengapa? Awalnya dia sendiri tidak mengerti. Baru setelah kenyataan itu menamparnya, dia baru mengerti. Dia tahu Seungcheol tak akan memahami isi hatinya tanpa bicara. Namun mulutnya sulit sekali membuka. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang Yoon Jeonghan yang bergengsi tinggi. Bila mengaku, maka harga dirinya pun menjadi taruhan. Namun lagi-lagi ketika memikirkan perpisahan, dia tak rela. Begitu tidak relanya sampai kedua bibirnya yang sejak tadi terkatup membuka sendiri, menuturkan, "...aku tidak mau pisah darimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Long Time Admirer
RomanceKekalahan dalam persaingan bisnis membuat Yoon Jeonghan harus menikahi Choi Seungcheol, pria yang sepuluh tahun lalu pernah menyatakan cinta padanya, yang juga ditolaknya dengan keji. Dendam yang lama bersarang dalam hati Seungcheol menjadikan perni...