01 | Keputusan
Dahyun membawa tubuh bayi mungil itu untuk berbaring di boks putihnya. Jihyun selalu mengantuk sehabis diberi susu, dan ini sudah masuk pukul sebelas, itu artinya Jihyun sudah harus tidur siang. Bayi gembul itu jadi lebih kalem akhir-akhir ini. Mungkin karena dia jadi lebih nyaman, atau karena memang tidak ada yang mengusiknya? Dahyun bersyukur meskipun dia masih sering terbangun karena di awal Jihyun lahir, bayi itu memang rewel bukan main sampai jam tidurnya kacau balau.
Sekarang anak Eomma tidak rewel lagi.
Dahyun menyelimuti tubuh Jihyun, tersenyum tipis kemudian bergerak ke tepian ranjang untuk merapikan kain-kain yang tadi dipakai alas untuk Jihyun berbaring. Matanya melirik kecil Jimin yang masih fokus kepada ponsel. "Kalau memang cocok, ya sudah terima saja," gumamnya pelan.
"Apa maksudmu? Ini ... yah, bayarannya fantastis. Tapi aku tahu, akan ada banyak persiapan." Jimin terdiam karena pikiran yang terbersit di benaknya. "Kau harus membaca skrip awalnya. Ada beberapa adegan dengan tokoh wanita. Kau mungkin akan tidak nyaman, Dahyun."
Dahyun pun terduduk, menatap lurus Jimin yang sudah mengangkat wajahnya. "Menurutmu bagaimana? Kalau memang kau yakin, aku hanya dapat mendukung toh itu profesi yang pernah membuatmu bahagia kan? Aku tidak mau memprotes atau apapun, Jim. Terserah saja."
"Tapi dari caramu bicara..."
"Aku akan terdengar seperti pembohong kalau aku bilang akan cemburu tapi sepertinya ini tidak separah film-film dewasa yang pernah kau bintangi sebelumnya kan?"
Jimin mengangguk. "Yah, tidak begitu ... vulgar. Maksudku, adegan ciuman akan ada di beberapa bagian, mungkin sampai ke ranjang tapi tidak ada yang sampai menyorot jelas atau sangat intim. Kalau itu yang ingin kau tanyakan." Ia menggaruk tengkuknya. Bagaimana pun, sehabis menikah, setiap keputusan termasuk satu ini jadi harus didiskusikan bersama dan Jimin sangat menghormati perasaan Dahyun sampai di titik tidak ingin membuat Dahyun kecewa atau sedih karena keputusannya.
"Kau bisa memutuskannya. Ya atau tidak, aku akan menghargainya."
"Dahyun, bagaimana dengan JiU? Kalau sampai dia tahu, dia pasti tidak setuju pula." Mengingat peringai putri sulungnya itu, Jimin langsung berdecak. Dibanding siapapun, JiU punya prinsip yang teguh dan dia tidak akan segan mengutarakan secara lantang termasuk kepada Jimin.
Dahyun menghela napas. "Kau tidak perlu khawatir, aku akan membujuknya, oke?" Ia mengusap lengan Jimin dan tersenyum simpul. Kalau memang sudah deal, maka Jimin kemungkinan akan jarang pulang dan lebih sibuk di lokasi syuting. Dahyun sudah paham bagaimana alur semuanya akan berlangsung: pra produksi-syuting-perilisan film-touring.
"Terima kasih, Dahyun. Aku akan mulai pertimbangkan."
"Oke."
.
.
Chae meringis, berhenti mengunyah keripik kentang garing yang sudah ada di hadapannya. Momen pertemuan dengan Dahyun selalu berjalan dramatis dan heboh. Kali ini, Chae lebih ke arah dongkol dan dia mendelik ke arah sahabatnya. "Pikirkan baik-baik, dia akan berciuman dengan wanita lain! Kau bisa bayangkan itu? Dan dia akan menyentuh ... ah kau tahu lah detailnya. Dan kau membiarkannya? Apakah kau hilang akal?" Chae berdecak sengit. "Kalau itu Namjoon, akan aku tendang bokongnya dari rumah. Kau terlalu baik, Dahyun-ah. Pikirkan lagi."
"Tapi Jimin rindu sebagai aktor."
"Kau yakin? Rindu sebagai aktor atau rindu bermesraan dengan lawan mainnya?" Chae memutar bola matanya, agak jengah. "Sekarang kalian bahkan punya Jihyun dan JiU. Dan bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Pikirkan dirimu juga."
Dahyun melipat bibirnya. Tadinya ia pikir bertemu dengan Chae akan membuat perasaannya lega. Justru wanita ini memanas-manasinya sampai Dahyun bimbang. Bagaimana ini? Aku perlu melarang Jimin?
"Aku dengar juga produsernya sangat cantik dan muda. Berapa umurnya? Dua puluh enam? Astaga, dia pasti punya minat tersendiri saat memilih Jimin. Kau tahu, film debut itu tidak main-main dan Jimin .. yeah, aku tidak mau memberikan label apapun tapi suamimu itu kan agak 'kontroversial' dan apakah dia tidak mempertimbangkan efeknya secara luas? Mungkin saja filmnya jadi dikecam atau apapun."
"Yak! Jangan mengatakan hal buruk begitu!"
Chae meringis. "Maafkan aku. Tapi, pikirkan saja. Mungkin Jimin memang ingin kembali ke dunia aktor, tapi kan semuanya sudah berbeda. Dia bukan bujangan atau apapun, dia seorang ayah dan suami! Apa yang akan orang tuamu katakan jika tahu Jimin kembali ke dunia film? Apalagi film yang seperti itu..."
Dahyun tidak tahu. Sejujurnya, dia belum memperkirakan sampai ke sana bahkan membayangkan reaksi Yeesung saja dia tidak sanggup karena adiknya itu pasti juga bereaksi tidak terduga. Apakah mereka akan mendukung dan senang? Atau mereka seperti Chae yang nampak tidak setuju dan sinis?
"Bicarakan lagi dan temui aku kalau sudah beres," sahut Chae seakan menginterupsi arus pikiran Dahyun. "Aku hanya tidak ingin sahabatmu sedih."
"Toh ini hanya film.."
"Yah hanya film tapi perasaan yang timbul nantinya tidak sekadar rekaan, itu nyata dan itu akan kau rasakan, oke? Aku tidak mau melihatmu murung, Dahyun." Chae mulai memelankan suaranya, kembali mengunyah keripik kentang seraya beralih kepada Jihyun yang masih tertidur di kereta dorongnya.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breakfast Buddy | park jm ✔
FanfictionKim Dahyun pikir, kehidupan selepas kuliah adalah yang terbaik. Sampai akhirnya, realita menghempas keras; diprotes ibunya, diceramahi sahabatnya, digunjing seluruh keluarga karena tidak mendapatkan pekerjaan. Rentetan kesialan terus berlanjut hingg...