Side story : Ahrin & Jimin

446 69 11
                                    

Aku mengenalnya saat dia masih hijau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengenalnya saat dia masih hijau. Wajah kebingungan, sepasang mata yang kosong serta senyuman kekanakkan—Park Jimin yang aku kenal. Aku yang jelas punya lingkaran pertemanan berbeda dengannya merasa kurang cocok dengan penampilannya itu apalagi Park Jimin tidak nampak seperti siswa yang serius jika ingin mendekati seorang gadis. Kadang dia dengan gugup menyapaku, kadang juga dia hanya lewat begitu layaknya aku hantu.

Kisah kami pun terajut begitu saja.

/

Shin Ahrin.

Aku membetulkan letak nametag-ku dengan senyum penuh. Kemudian, aku merapikan dasi dan juga ransel berwarna putih susu tersebut. Seragam ini sangat pas dan aku perlu berterimakasih kepada Bibi Nam yang sudah mau disusahkan untuk mengecilkan seragam yang tadinya nampak tidak elegan di tubuhku. Untuk anak seusiaku, aku tumbuh tinggi menjulang bak model dan aku juga punya senyuman yang katanya bernilai mahal. Karena banyak dukungan, aku jelas memilih Akademi ini. Selain itu, aku memang suka perhatian yang dialamatkan kepadaku—rasanya menyenangkan!

"Ahrin­-ssi!"

Aku menoleh dan menatap bingung sosok itu. "Ya? Kau memanggilku?"

"Aku .. aku mau bicara .."

"Bicara saja, ada apa memangnya?" Mengapa dia jadi senang berbasa-basi. Kemudian tanpa aku sangka, dia mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya. Dia menyodorkan bunga dan juga surat. Aku tertegun. "Untukku, Jim?"

"Yah, tolong diterima," katanya dengan senyuman lugu.

"Oh, oke.. terima kasih," balasku. Dia pun membungkuk pamit dan melambai singkat menuju bangunan sekolah. Sedangkan aku yang baru saja beres turun dari mobilku langsung mengeryit. Memang masih zaman ya memberikan surat dan bunga? Di saat tidak ada yang melihat, aku cepat melemparkan bunga itu ke tempat sampah terdekat dan hanya membawa suratnya saja. Dia punya tulisan yang manis, sejujurnya;

Hai, Ahrin.

Aku butuh segenap usaha untuk berbicara kepadamu. Aku terkesima melihatmu di kelas Drama Kontemporer tempo hari. Kau tampak cantik dan berbakat. Guru Min benar, kau memang cocok untuk peran tersebut. Terima kasih karena melihatku saat aku tampil meskipun aku gugup setengah mati. Aku ingin jadi temanmu :)

Tertanda,

Park Jimin.

"Ahrin­-ah!"

Aku terkesiap dan buru-buru mengantongi surat itu. Aku tersenyum. "Hei, Jihye!" pekikku dan merasa suaraku agak serak. Bukan saja karena pagi ini aku terkejut akan Jimin, tapi juga menilik dari suratnya, mengapa kau jadi ingin pergi jauh-jauh darinya?

"Tadi aku lihat kau dengan Jimin .. bicarakan apa? Sesuatu?"

"Bukan apa-apa kok! Jangan dipikirkan," kataku dan mulai mengajakku menuju kelas kami. Sesampai di sana, jelas aku muncul dengan senyuman lepas dan mengabaikan bagaimana aku tetap mengantongi surat 'sok manis' dari Jimin. Apakah dia berusaha kencan denganku? Dia kan bilang teman, tapi apakah lebih dari itu? Ketika aku sampai di kursi, dari bawah menja, aku mengeluarkan kertas itu dan meremasnya lantas menjejalkannya ke dalam laci milikku.

Breakfast Buddy | park jm ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang