Buddy 13

459 102 26
                                    

CHAPTER TIGA BELAS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER TIGA BELAS

DAY ONE

1. Jangan membuat kegaduhan.

2. Jangan panik.

3. Jangan banyak minum kopi.

4. Jangan banyak berpikir.

5. Tetap profesional.

Dahyun menuliskan semua itu di mome di kertasnya. Setidaknya, itu jadi reminder kecil bahwa hari ini, dia akan melakukan pekerjaan dengan baik. Mungkin bagi sebagian orang itu agak kekanakkan. Memang kekanakkan dan dia seperti anak yang baru pertama terjun ke dunia orang dewasa. Tapi, memang apa yang dapat ia lakukan? Jujur saja, hawanya tidak enak sejak pagi tadi, dan Dahyun makin terbawa gugup karena ini pertama syuting. Dia sudah diberitahu soal apa saja kegiatan hari ini karena penjelasan Manager Kim yang sudah seperti tetua penting di kru kecil mereka. Dahyun pikir, jika dia berhasil melewatinya, sepulang dari sini, dia harus merayakan dengan memakan satu cup besar es krim.

Syuting akan dimulai pukul tujuh nanti, tentu saja, Dahyun tidak perlu menegaskan untuk apa pasnya di jam tersebut. Karena yah, itu waktu yang tepat untuk "bangun" karena memang adegan pertama adalah adegan antara Jimin dan Ahrin yang baru saja terjebak bersama di hotel kemudian bangun. Mungkin ini seperti bagian prolog dari filmnya. Awal yang sudah menyuguhkan konflik dari keseluruhan film itu sendiri. Jimin yang tidak setia dengan istrinya. Ahrin yang merelakan seluruh dirinya untuk Jimin serta hubungan mereka yang membawa.

"Tuan Jimin, selama datang, silahkan ikut kami," ujar Ketua penata rias dan mengarahkan mereka menuju ruangan khusus untuk Jimin. Bahkan ada nama yang tertera pula. Aktor; Park Jimin. Papan itu ada di pintu besar besar.

"Aku akan ganti baju. Bisakah kalian tanyakan kepada Sutradaranya bahwa aku butuh lima belasmenit untuk menenangkan diri dan menjernihkan kepalaku sebentar?" ujarnya kepada Dahyun dan Manager Kim.

"Tentu saja."

Manager Kim membantu menaruh jaket denim yang tadi nyaman di tubuh Jimin, mereka pun bergegas ke ruangan lain mungkin untuk memeriksa ruangan itu, sedangkan Dahyun sudah keluar lagi. Di koridor menuju ruangan Sutradara, Dahyun terus terpana dengan banyaknya kru. Mungkin bukan mereka saja yang gugup sampai tidak bisa tidur, semua orang di sini juga sama gugupnya bukan?

.

.

Film bukanlah favorit Dahyun. Sejak kecil, entah menonton film di televisi ataupun di bioskop, Dahyun tidak begitu menikmatinya. Bahkan dia cenderung menolak tawaran anggota keluarganya apalagi ibunya agak gila soal menonton film. Kata beliau, itu hiburan paling menyenangkan. Begitupun ayahnya, bahkan kalau Dahyun rela mendengarkan cerita mereka soal kencan pertama di bioskop, Dahyun bergidik ngeri. Menurutnya, tidak masalah sih jika seseorang suka film atau berkencan di bioskop, hanya saja, itu bukan dirinya.

Dahyun lebih senang dengan buku. Dari kecil, dia sudah mengoleksi banyak buku sampai ibunya harus membelikan beberapa rak khusus. Dahyun tersenyum jika diberikan hadiah buku baru dan akan menghabiskan banyak waktu untuk menjamah banyak bacaan yang menurutnya seperti kawan kecil itu. Akhirnya, hobi itu terus hidup bagaikan bernapas dalam dirinya.

Hingga saat ini. Jadi, maaf saja jika dia tidak begitu mengenal Park Jimin sebelum ini. Mungkin mendengarnya sekali kali dan dari cerita Chaeyeoung karena mereka owner kafe Morning Sunshine dan punya channel yang luas. Dahyun? Tidak begitu peduli sih.

Ternyata, alur hidup memang tidak dapat ditebak. Justru sekarang dia berada di tengah tengah produksi film yang masuk dalam jajaran sangat dinanti. Bahkan berita terus berada di barisan trend real time Naver dan jadi perbincangan di mana pun berada. Tidak terbatas umur, padahal Dahyun cukup tahu dan mereka cukup tahu bahwa film ini bukan untuk seluruh kalangan.

Tadi malam, Jimin sempat mampir ke kamarnya yakni kamar tamu di paviliunnya. Beberapa hari di tiga minggu ini memang krusial dengan jadwal Jimin yang menggila. Aneh juga justru sosoknya muncul, dengan wajah mengantuk dan muka yang agak bengkak mungkin karena tertidur. "Aku mau bicara," katanya.

"Apa?"

"Kalau nanti saat syuting mungkin aku agak keras, kau jangan panik atau kaget. Mungkin kau akan tidak nyaman, tapi mengertilah. Hanya untuk beberapa waktu ini."

"Oh, tenang saja, Tuan. Aku sudah tahu."

Jimin menyeringai. "Bagaimana keluargamu? Baik? Ibumu?"

"Baik, mereka terus bertukar kabar. Bagaimana dengan ibumu?"

"Baik, dia ingin aku mengajakmu makan malam," jawabnya ringan. Jimin menyeret tubuhnya dan duduk di tepian ranjang Dahyun. Dia sejenak memperhatikan sudut kamar yang Dahyun tempati dengan mata menyipit. "Kalau kamar ini kurang nyaman, beritahu saja, aku rasa tempat ini jadi makin sempit."

"Ah, tidak perlu. Ini lebih dari cukup."

"Kau tidak merasa canggung kan di sini?"

"Sejujurnya awal awal ya, aku jarang menginap di rumah teman bahkan di rumah nenek bahkan pamanku, jadi agak tidak biasa saja jika tidur bukan di rumahku sendiri," jawabku dengan lugas. "Tapi, bukan masalah."

Jimin mengangguk dan akhirnya mulai berbaring. Dahyun agak terkejut karena Jimin justru meringkuk di sana. "Izinkan aku tidur sebentar ya, aku bosan di kamarku. Terlalu kosong," jawabnya dan perlahan matanya mulai menutup.

Dahyun jadi tidak tega untuk mengusir. Kata katanya tertahan begitu saja, dan dia hanya dapat memandangi Jimin yang justru terlelap damai di sana. Pasti dia sangat keras kepada dirinya sendiri dan terus bekerja tanpa henti. "Malangnya."

.

.

"Kumohon, kau pilih aku atau istrimu?"

"Jangan bercanda."

Ahrin merangkul leher Jimin. Tubuh keduanya hanya terbalut selimut putih. Ahrin memiringkan wajahnya. Sinar matahari secara alami menyorot dua sejoli yang sama sama terlihat menawan itu, bagaikan mereka bagian dari lukisan terindah yang ada. Apalagi didukung dengan suasana set yang nampak elegan. 

"Kumohon, jawab sekarang. Kau seharusnya tegas, aku atau istrimu?" Sementara dua sosok itu jadi sorotan kamera dan perhatian semua kru, Dahyun terdiam di belakang sembari menggigit kertas di tangannya dan dengan satu tangan gemetaran dia takut akan melemparkan cup kopi di tangannya itu.

"Aku mencintaimu .." Jimin mendekatkan wajahnya ke dekat Ahrin. Dahyun mau tidak mau langsung memalingkan wajahnya ke dinding terdkat. Dahyun tidak dapat mendengar bagaimana detik bergulir hingga terdengar cecapan sensual serta suara lenguhan ringan.

"Cut!"

Teriakan PD-nim memecah keheningan yang menyengat itu. Jimin dibantu untuk berdiri kemudian mendapatkan jubah untuk menutupi tubuhnya. Begitu pun Ahrin yang tersenyum sewaktu dibantu untuk bangkit dan berjalan ke dekat monitor untuk memeriksa take tersebut.

Dahyun meneguk cepat kopinya dengan bibir kering. "Astaga, seharusnya aku tidur tadi malam .." Ia merasa pusing dan agak lunglai. Hal itu cepat tertangkap oleh Manager Kim yang sudah mendekat kepadanya sedangkan Jimin sudah bersama tim penata rias untuk merapikan rambut dan set pula.

"Apakah kau baik? Kau agak pucat."

"Aku?" Dahyun mengipasi wajahnya sendiri. "Aku baik, hanya di sini agak .. aneh saja." Atmosfer yang tercipta memang agak menggigit kulit dan dia tidak tahu bagaimana tubuhnya jadi meremang seperti ini. Wah, tidak terpikirkan ternyata syuting akan terasa bagaikan neraka.

"Kau .. cemburu?"

[]

Breakfast Buddy | park jm ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang